KETUA Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Inspektur Jenderal Eko Rudi Sudarto mengatakan, misi reformasi Polri bisa belajar banyak dari pengalaman di Papua. Khususnya, kata dia, dalam menerapkan pendekatan halus atau soft approach untuk mencegah timbulnya konflik.
[–>
Eko menyebut saat ini Papua masih menghadapi berbagai permasalahan. “Masih terjadi diskriminasi, marginalisasi, terus ada kekerasan hak asasi manusia dan lain sebagainya,” kata Eko di Gedung STIK Lemdiklat Polri, Jakarta Selatan pada Rabu, 17 Desember 2025 seusai diskusi buku “Jejak Cinta di Papua” yang ditulisnya.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Menurut perwira yang pernah bertugas sebagai wakil kepala Kepolisian Daerah Papua pada 2021-2022 ini, berbagai masalah itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan. Polisi, kata dia, juga perlu membangun empati terhadap masyarakat.
[–>
Upaya membangun empati, kata Eko, telah dicoba diterapkan di Papua melalui program Bimbingan Masyarakat atau Binmas Noken. Program Binmas Noken menggabungkan fungsi Binmas Polri dengan filosofi Noken di Papua. Noken, sebutan unuk tas anyaman dari serat tumbuhan, merupakan simbol budaya, perdamaian, hingga kebersamaan.
Program Binmas Noken berupaya mendekatkan polisi dengan masyarakat melalui berbagai kegiatan, dari kegiatan pendidikan hingga pertanian. Dengan demikian, kata Eko, polisi akan memahami perspektif masyarakat atas sebuah permasalahan dan tidak serta merta melakukan tindakan kekerasan yang bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM.
[–>
Pendekatan soft approach policing di Papua, kata Eko, bisa diterapkan dalam upaya mereformasi kepolisian. Menurut Eko, Kepolisian RI atau Polri wajib mendidik polisi agar mampu berempati kepada masyarakat. “Kalau enggak punya (empati), yang terjadi pelanggaran HAM terus. Yang terjadi kami bukan semakin dekat sama masyarakat, sama rakyat, tapi yang terjadi sebaliknya, kami berkonfrontasi sama mereka,” tuturnya.
Pemolisian di Papua tidak lepas dari kritik. Meski Eko menyebut Polri memiliki pendekatan soft approach, sejumlah pihak masih mengkritik kekerasan polisi di Papua.
Pada demonstrasi besar akhir Agustus lalu, contohnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengecam kekerasan polisi dalam menghadapi demonstrasi masyarakat Sorong, Papua Barat Daya. Masyarakat menggelar demonstrasi karena menolak pemindahan tahanan politik ke Makassar.
LBH Papua menyebut polisi kemudian membubarkan unjuk rasa itu dengan tindakan represif. “Tindakan anarkis oleh aparat keamanan tidak hanya melanggar hak asasi manusia,” kata Direktur LBH Papua Festus Ngoranmele dalam keterangan tertulisnya.
Desakan adanya reformasi Polri muncul setelah kerusuhan demonstrasi pada akhir Agustus lalu. Di Jakarta dan beberapa daerah lainnya timbul kerusuhan, sepuluh orang dilaporkan meninggal, termasuk pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Jalan Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Presiden Prabowo Subianto kemudian membentuk Komisi Reformasi Polri yang terdiri dari 10 orang dan diketuai oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimmly Asshiddiqie. Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia No 122/P Tahun 2025 pada 7 November 2025.
Hingga akhir tahun 2025, Ombudsman RI mencatat dalam lima tahun terakhir ada 3.308 laporan soal pelayanan kepolisian. Ribuan laporan itu menempatkan Polri dalam tiga besar instansi dengan laporan terbanyak di Ombudsman.
Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan temuan tersebut menunjukkan masih adanya persoalan fundamental di tubuh Polri seperti penyalahgunaan wewenang, lemahnya pengawasan, hingga tidak meratanya layanan di berbagai wilayah. Karena itu, menurut dia, reformasi Polri bukan hanya kebutuhan internal institusi tetapi juga kebutuhan publik untuk memastikan layanan hukum yang profesional, modern, dan akuntabel.
“Reformasi Polri harus dimulai dari penataan tata kelola pelayanan kepada masyarakat agar kepolisian kembali tampil sebagai sahabat publik yang bekerja dengan humanis dan melayani sepenuh hati,” kata Najih melalui keterangan resminya yang dikutip Ahad, 7 Desember 2025.
Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro, mengatakan ruang reformasi harus dibuka lebih luas mengingat tugas dan kewenangan Polri saat ini berkembang sangat besar sehingga rentan menimbulkan penyimpangan. Ia menilai struktur Polri yang gemuk menyulitkan pengelolaan, termasuk dalam memastikan integritas anggotanya.
“Polri secara konsisten masuk dalam tiga besar laporan terbanyak ke Ombudsman, terutama terkait penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka selama periode 2021–2025. Persoalan profesionalitas dan integritas, menjadi inti tantangan yang harus dibenahi,” katanya.
Pilihan Editor: Kerinduan Pengungsi Nduga Merayakan Natal di Kampung Halaman
Ade Ridwan Yandwiputra dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
