INFO NASIONAL – Hari Maritim Nasional 2025 menjadi momentum penguatan kolaborasi dan menggaet generasi muda untuk kembali mencintai laut. Semangat tersebut terlihat dalam acara Kenduri Bahari: Kembali ke Bangsa Samudra di Museum Bahari, Jakarta Utara, Selasa, 23 September 2025.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Badan Keamanan Laut (Bakamla), Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta, Museum Bahari, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Beragam acara berlangsung sejak pagi hingga malam. Mulai dari senam pagi, tari, lomba orasi, hingga dua sesi diskusi.
Kepala Bakamla Laksdya TNI Irvansyah menyebut kegiatan ini bertujuan untuk menyebarluaskan semangat cinta bahari dan budaya bahari. “Kita jangan menyerah, terus mengajak semua masyarakat untuk sama-sama membangun Maritim Indonesia,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Mochamad Miftahulloh Tamary di Museum Bahari, Jakarta, pada Selasa, 23 September 2025. Tempo/Abdul Karim
Keterlibatan IKJ, Irwansyah melanjutkan, merupakan implementasi dalam menularkan kecintaan pada maritim di kalangan generasi muda. “IKJ ini isinya orang-orang kreatif. Kami mengajak mereka untuk melakukan sesuatu agar (semangat mencintai maritim) ini lebih menarik,” tuturnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta, Mochamad Miftahullah Tamary, menambahkan bahwa Kenduri Bahari tidak boleh berhenti sebagai seremoni. “Momentum ini harus menjadi aksi nyata semua pihak—pemerintah pusat, daerah, lembaga keilmuan dan budaya, swasta, hingga masyarakat,” ujarnya.
Semua pihak, kata Miftahullah, patut mengingat bahwa laut bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi juga ruang budaya dan sejarah yang telah terbentuk sebagai jati diri bangsa Indonesia. “Laut adalah unsur penting yang menyatukan kita,” ucapnya.
Sebagai upaya menggugah kesadaran masyarakat termasuk generasi muda, Kenduri Bahari menggelar dua sesi diskusi. Sesi pertama menghadirkan Laksmana Muda Bakamla Didong Rio Duta dengan tajuk “Peran Bakamla dalam Menjaga Keamanan Laut Indonesia”.
Dalam paparannya, Didong menjabarkan Peran Bakamla di tengah berbagai tantangan kemaritiman, dari perdagangan manusia, pencurian ikan, hingga penyelundupan barang terlarang. “Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan dua pertiga wilayah berupa laut. Keamanan laut harus dijaga bersama,” ucapnya.
Puluhan mahasiswa dan pelajar yang hadir dalam diskusi ini mendapat pemaparan tentang riwayat Bakamla yang lahir dari kebutuhan khusus menjaga laut Indonesia. Deklarasi Juanda menjadi tonggak awal, dilanjutkan pembentukan Bakorkamla pada 1972, hingga kini Bakamla berperan sebagai Indonesia Coast Guard.
Bakamla, menurut Didong, juga menjadi penghubung koordinasi. Ketika ada pelanggaran, Bakamla bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, maupun Polisi Air. Selanjutnya, proses hukum ditangani pengadilan. “Koordinasi lintas sektor itu kunci. Tantangan terbesar masih ego sektoral,” ujar Didong.
Dengan personel sekitar 1.300 orang, Bakamla mengembangkan teknologi untuk menutup keterbatasan sumber daya. Misalnya melalui Pusat Informasi Kemaritiman Nasional, aplikasi ini berfungsi untuk memetakan titik rawan pelanggaran.
Keterbatasan personel itu menjadi acuan bagi Didong mengajak generasi muda terlibat mengelola dan menjaga laut Indonesia. “Menjaga laut bukan hanya tugas kami hari ini, tapi akan dilanjutkan generasi berikutnya,” kata Didong.
Kepala Bakamla RI, Laksdya TNI Irvansyah (tengah) berfoto bersama dalam rangka memperingati Hari Maritim Nasional ke-62 Tahun 2025 di Museum Bahari, Jakarta, pada Selasa, 23 September 2025. Tempo/Abdul Karim
Adapun diskusi kedua bertema “Kerajaan Sriwijaya” bertujuan memantik generasi muda agar lebih memahami sejarah sekaligus menjaga budaya dan identitas maritim bangsa. Peneliti Senior BRIN, Retno Purwanti, cultural enthusiast Septian Patah, dan Ketua Wangsamudra, Wenri Wanhar, hadir sebagai pembicara.
Septian menyoroti narasi sejarah Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang masih diperdebatkan letaknya. Ia mengutip riset Supono pada 1950-an yang menolak Palembang sebagai pusat kerajaan, dan lebih condong ke Jambi.
Menurut dia, sejumlah peneliti menilai istilah “Sriwijaya” sebenarnya baru muncul dalam berbagai sumber di abad ke-20. “Naskah berbahasa China pun tak menyebut Sriwijaya. Kata itu hanya muncul di prasasti, dan sering disebut sebagai datuk atau kedatukan. Dari kajian kami, Sriwijaya lebih sebagai sistem kependidikan,” kata Septian.
Wenri menambahkan, Sriwijaya dapat dipahami melalui konsep Mandala. Raja diraja atau maharaja kala itu berusaha memengaruhi para mandala. “Konsep ini perlahan hilang ketika masuk era Mataram, Majapahit, hingga kolonialisme,” ujarnya.
Sementara Retno menjelaskan bukti arkeologi yang menunjukkan pengaruh Sriwijaya terhadap bangsa-bangsa Asia Tenggara pada masanya. “Pengaruh itu terlihat dari sebaran temuan arkeologis yang membentang lintas kawasan,” kata Retno. (*)