Afet Bakanlığı Kurulması Teklifinin Neden Hazırlanmasına Gerek Yok?


KETUA Komisi I DPR Utut Adianto mengusulkan agar pemerintah memiliki satu kementerian khusus untuk penanggulangan bencana secara terintegrasi. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menyampaikan usulan pembentukan kementerian bencana itu dalam rapat kerja bersama Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Fianda Hafid pada Senin, 8 Desember lalu,

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Guru Besar Ilmu Pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, mengatakan dalam situasi saat ini usul pembentukan kementerian bencana bersifat sah-sah saja, mengingat cuaca ekstrem yang diperburuk oleh krisis iklim.

[–>

“Tetapi, yang jadi persoalan bukan soal status kementerian, badan, atau lembaganya. Namun koordinasi,” kata Djohan saat dihubungi, Jumat, 12 Desember 2025.

Ia menjelaskan, Indonesia telah memiliki badan yang mengurusi penanggulangan bencana kendati statusnya bersifat nonkementerian. Badan yang dimaksudkan ialah Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB untuk tingkat nasional, dan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD).

[–>

Dengan begitu, kata dia, BNPB menjadi badan setingkat kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan penanggulangan bencana sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. “Masalahnya, pemangkasan anggaran BNPB membuat instansi ini tak mampu bergerak luas,” ujar Djohan.

Adapun bencana ekologi melanda sejumlah wilayah Indonesia sejak 25 November lalu. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi daerah yang sampai saat ini masih mengalami penanggulangan darurat bencana. Meski begitu, pemerintah belum menetapkan status darurat bencana nasional untuk penanggulangan bencana ekologi di tiga provinsi itu.

Hingga Kamis, 11 Desember kemarin data dashboard geoportal penanganan darurat banjir dan tanah longsor BNPB di tiga provinsi itu mencatat, sebanyak 990 jiwa meninggal dunia akibat bencana dengan rincian 407 jiwa berada di Aceh; 343 jiwa di Sumatera Utara; dan 240 jiwa di Sumatera Barat.

Pengajar ilmu hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai usul pembentukan kementerian bencara tak relevan dengan kondisi fiskal dan upaya penanggulangan bencana yang masih berlangsung saat ini. Ia mengatakan, pembentukan instansi baru justru akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

Menurut dia, alih-alih membentuk instansi baru, pemerintah dapat meleburkan atau membubarkan BNPB agar tugas dan beban fiskal negara tak kian terbebani. Ia mencontohkan peleburuh Badan Pertanahan Negara ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang. “Kabinet saat ini sudah gemuk, jadi tak seharusnya ditambah badan baru,” ujar Yance.

Syahdan, Yance mengatakan, jika alasan pembentukan kementerian bencana didasari integrasi penanggulangan bencana hingga optimalisasi anggaran, semestinya pemerintah mewudujkan itu dengan menghentikan sementara kebijakan yang tak memiliki kegentingan mendesak. “Program MBG saat ini, saya rasa tidak punya kegentingan yang mendesak,” kata dia.

Yance berpendapat, penghentian sementara dan alokasi anggaran program MBG untuk penanggulangan darurat bencana menjadi hal yang lebih diperlukan ketimbang membahas usul pembentukan kementerian bencana. “Anggaran MBG mencukupi untuk membantu daerah merehabilitasi infrastruktur dan rumah warga di tengah seretnya dana karena pemangkasan transfer ke daerah,” ucap dia.

Center of Economic and Law Studies atau CELIOS mencatat anggaran nasional untuk lembaga yang membidangi kebencanaan berada pada level terendah dalam 15 tahun terakhir. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2026 misalnya, BNPB hanya memiliki anggaran RP 491 miliar, sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rp 2,6 triliun.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyu Askar mengatakan minimnya anggaran yang dimiliki lembaga kebencanaan berpotensi memperlambat penanggulangan bencana, misalnya, yang terjadi di Sumatera. “Kondisi ini makin problematis karena daerah juga mengalami pemangkasan TKD,” ujar Askar.

Menurut Askar, di tengah kondisi geografi dan krisis iklim, Indonesia justru lebih memprioritaskan anggaran untuk program yang sebetulnya tidak memiliki kegentingan mendesak, terutama MBG. Program MBG memiliki anggaran Rp 335 triliun pada tahun ini. “Secara logika, ini tidak masuk akal karena anggaran kebencanaan dipangkas, sementara anggaran program yang tak perlu justru mengalami penambahan,” katanya.

Utut Adianto mengatakan usulan pembentukan kementerian bencana dilakukan dengan salah satu pertimbangan penguatan anggaran kebencanaan. Ia mencontohkan, daerah pemilihannya di Jawa Tengah VII merupakan wilayah rawan potensi bencana. “Sementara APBN tidak kuat, anggaran hanya keluar pada saat terjadi peristiwa,” ujarnya.

Menurut Utut, kementerian khusus bencana tersebut perlu dibentuk karena letak geografi Indonesia yang berada di area cincin api dunia menjadikan kondisi negara amat besar berpotensi dilanda bencana setiap waktu. Dengan pertimbangan itu, dia menilai, pembentukan kementerian bencana menjadi hal mendesak untuk diwujudkan.



Kaynak bağlantısı