SRI Rusminingtyas selalu mengenang sahabatnya, aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Dialah orang pertama yang melihat jenazah Munir di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004 silam.
Sri mengatakan tiap 5 Juni, ia selalu membuka album foto pernikahannya dengan sang suami yang warga negara Belanda Leo Fontijne. Salah satunya adalah foto dia dan Leo bersama beberapa aktivis HAM Indonesia termasuk Munir di dalamnya. “Munir, kapan kamu dapat keadilan,” kata Sri sambil memandang foto pernikahan itu.
Sri sudah mengenal Munir sejak 1998. Saat itu lembaga tempat Sri bekerja diminta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memfasilitasi penguatan lembaga. Munir merupakan salah satu pendiri Kontras.
Sejak saat itu, Sri sering berdiskusi dengan Munir. Ia mengenang Munir sebagai seorang aktivis hak asasi manusia yang berani mengungapkan kebenaran. “Dia orang yang tidak takut. Tapi keberanian itu karena dia punya data,” kata Sri saat dihubungi, kemarin.
Munir tewas di langit Romania saat pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 membawanya ke Belanda pada 7 September 2004. Munir saat itu sedang dalam perjalanan untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht, Amsterdam. Sri merupakan orang yang pertama kali melihat dan mengurusi jenazah Munir di Bandara Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda.
Kepada Tempo, Sri menceritakan detik-detik ketika mengurusi jenazah Munir. Awalnya ia mendengar Munir akan melanjutkan kuliah S2 bidang hukum di Utrecht University pada September 2004. Sri yang sudah menetap di Belanda sejak Juli 2004, kemudian meminta tolong kepada Poengky Indarti untuk menitipkan ijazahnya yang tertinggal di Indonesia kepada Munir. Poengky mengiyakan dan meminta Sri menjemput Munir di Bandara Schiphol Amsterdam, Belanda.
Munir berangkat menggunakan pesawat Garuda Indonesia GA-974 dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Sri merasa Munir sebetulnya tidak perlu dijemput di Bandara Schiphol. Selama mengenal Munir, Sri melihat pendiri Imparsial itu sudah biasa melakukan perjalanan ke luar negeri secara mandiri. Tapi, kala itu, Poengky ngotot supaya Sri menjemput Munir. “Saya juga heran. Tapi saya tetap mengiyakan,” kata dia saat dihubungi via telepon pada Jumat, 5 September 2025.
Pada hari penjemputan, Sri sudah tiba lebih pagi di Bandara Schiphol. Dia membawakan roti tuna untuk diberikan kepada Munir. Sri lalu melihat pesawat Garuda Indonesia yang ditumpangi Munir sudah mendarat pada layar pengumuman kedatangan. Sri kala itu membayangkan Munir keluar mendorong troli sampail cengar-cengir. Ketika keluar, Sri berniat akan menanyakan kabar dan memberikan roti tuna kepada Munir. “Aku akan tanya kabarnya, sudah sarapan belum. Kalau belum akan kuberikan roti tuna,” kata dia.
Sri cukup lama menunggu. Namun, Munir tidak kunjung keluar. Sri tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari Poengky. Kepada Sri, Poengky bertanya keberadaanya. “Saya bilang saya di Schiphol. Saya kan mau jemput Munir,” kata dia.
Poengky kemudian mengabarkan Munir diisukan meninggal di pesawat. Ia tidak langsung percaya dengan rumor itu. Tapi memang Sri sempat mendengar petugas bandara menyebut kata “Munir” menggunakan Bahasa Belanda. Sri kala itu belum terlalu paham apa yang disampaikan petugas itu. Belakangan, Sri mengetahui bahwa pengumuman itu berbunyi, ‘bagi siapa yang menjemput Munir, harap menghubungi Information desk’.
Beberapa kru Garuda kemudian mulai keluar dari arrival gate. Sri langsung bertanya kepada salah satu pramugari untuk memastikan rumor itu. “Apa betul Munir meninggal di pesawat?” kata Sri. “Iya betul. Tapi keterangan resmi bisa hubungi kantor Garuda,” kata Sri menirukan ucapan pramugari tadi.
Sri mulai panik. Ia berusaha menahan tangis sambal mencari kantor Garuda yang ia tak tahu di mana letaknya. Kemudian dia pun menuju information desk. Kepada petugas informasi itu, Sri mengaku orang yang menjemput Munir. Dia hendak memastikan kebenaran bahwa Munir meninggal di pesawat.
Sri kemudian diarahkan untuk bertemu tiga pria. Tidak berlangsung lama, tiga orang itu menghampirinya. Satu orang mengenakan jas dan 2 lainnya berseragam polisi warna biru. Seorang yang mengenakan jas hitam bertanya kepada Sri. “Kamu menjemput Munir?” kata Sri menirukan pertanyaan pria yang memperkenalkan diri sebagai Wim van Brookhoven dari Luchthaven pastoraat.
Sri mengiyakan pertanyaan Brookhoven. Namun, Sri bilang bukan merupakan keluarga Munir, hanya kerabat yang diminta untuk menjemputnya. Sri kemudian memastikan rumor bahwa Munir meninggal dunia. “Iya meninggal,” kata Sri menirukan jawaban dari Brookhoven.
Sri menangis histeris. Dia kemudian mendapatkan pelukan dari Brookhoven. Setelah membaik, dua pria dengan seragam polisi mengajak Sri ke lantai atas bandara yang merupakan kantornya.
Di ruangan itu, Sri diberi minum. Dia berusaha menenangkan diri. Setelah itu, Sri diwawancarai polisi dan diminta memperlihatkan identitasnya. Kemudian, Ia ditanya hubungannya dengan Munir. Kepada mereka, Sri bilang Munir merupakan aktivis hak asasi manusia. Munir pernah diteror, diancam, bahkan rumah kedua orang tua Munir pernah ditemukan Bom.
Polisi itu bertanya kepada Sri, “Apakah kematian Munir karena kegiatannya di Indonesia?” kata Sri menirukan ucapan polisi itu. Sri menjawab bahwa dugaanya Munir dibunuh karena aktivitasnya itu.
Setelah itu, polisi itu menghubungi unit kepolisian khusus Belanda Korps Marechaussee te Voet atau Marsose Belanda. Sambil menunggu, Sri kemudian menghubungi Poengky untuk menjelaskan informasi yang dia dapatkan.
Tidak berlangsung lama, Sri dihubungi suaminya, Leo. Leo berpikir Sri dan Munir sedang berada di Utrecht. Namun, Sri berkata Munir meninggal dunia di pesawat. Leo yang kala itu sedang bekerja lalu langsung datang menjemput Sri di Bandara.
Dua petugas Marsose kemudian datang menghampiri Sri. Petugas itu memastikan apakah Munir memiliki masalah Kesehatan. Namun, Sri bilang Munir tidak mungkin sakit. Dia menduga Munir meninggal karena kegiatannya sebagai aktivis hak asasi manusia.
Petugas Marsose lalu meminta Sri mengidentifikasi jenazah Munir di mortuarium bandara Schiphol. Kala itu Leo sudah datang. Petugas Marsose meminta Leo untuk lebih dahulu melihat jenazah Munir. Marsose takut bila Sri lebih dahulu masuk akan langsung histeris. Sri mengiyakan.
Leo sebetulnya tidak terlalu mengenal Munir. Tapi satu hari sebelum peristiwa itu, Sri dan Leo sempat melihat foto pernikahan mereka yang dihadiri Munir. Sri bilang Leo memperhatikan betul wajah Munir.
Leo lalu masuk ke dalam mortuarium. Marsose lalu memanggil Sri. Posisi jenazah Munir berada di sisi kiri ruangan. Sri tidak berani melihat jenazah itu. Dia hanya melihat muka Leo. Sri kala itu masih ingin Leo menggeleng kepala, bukan mengangguk. Ternyata, ketika masuk, Leo mengangguk. “Benar itu jenzah Munir. Langsung saya histeris,” kata dia.
Setelah itu, Marsose bilang akan melakukan autopsi. Mereka juga akan meminta izin ke pihak keluarga. Permintaan izin keluarga sebetulnya hanya formalitas. Sebab, ada atau tidak ada izin, Marsose tetap akan melakukan autopsi. “Sebab, autopsi untuk mengungkapkan kebenaran,” kata Sri.
Sri lalu menghubungi Poengky. Kepada Sri, Poengky bilang Suciwati setuju melakukan autopsi. Marsose kemudian meminta keluarga untuk datang menjemput jenazah. Pada 9 September 2004, Sri menjemput Suciwati, Poengky, Usman Hamid, dan Uchok. Dari situ, Marsose memperlihatkan jenazah Munir ke keluarga. Setelah itu, Marsose melakukan wawancara dengan Suciwati dan kerabatnya.
Jenazah Munir diautopsi oleh Netherlands Forensic Institute (NFI). Pada12 November 2004 NFI mengeluarkan hasil autopsi yang mengejutkan. Munir tewas akibat reaksi racun arsenik dalam lambungnya. Dengan kata lain, besar kemungkinan bahwa Munir meninggal akibat diracun oleh seseorang.