POENGKY Indarti pernah bertanya kepada mentor sekaligus sahabatnya, Munir Said Thalib, soal alasannya begitu keras mengkritik tentara. Saat pertama mengenal Munir di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Poengky mengira orang yang kemudian menjadi atasannya di beberapa organisasi masyarakat sipil itu benci dengan militer.
Kepada Poengky, Munir bercerita. Saat berusia enam tahun, laki-laki asal Kota Batu, Jawa Timur itu menyaksikan ibunya dipalak tentara. Aparat tersebut dibayar oleh rentenir untuk menagih pinjaman ayah Munir yang seorang pedagang kain.
Ketika itu, sang ayah baru saja wafat. “Munir bilang ke saya, bayangkan bagaimana perasaan anak umur enam tahun melihat ibunya diperlakukan seperti itu oleh tentara,” kata Poengky kepada Tempo pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Anak itu, kata Poengky, tumbuh menjadi sosok yang selalu kritis terhadap militer. Terutama ketika tentara terlibat dalam urusan-urusan sipil yang bukan tugasnya.
Munir, lahir pada 8 Desember 1965, tumbuh besar di era Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Pada zaman itu, militer memiliki peran besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam kegiatan advokasinya di LBH Surabaya pada awal 1990-an, Munir juga kerap berurusan dengan militer. Poengky bercerita tentara sering geram melihat aktivitas Munir yang mendorong buruh di Jawa Timur untuk berserikat hingga menuntut hak lewat mogok kerja.
Suatu waktu, Poengky berujar, Munir mendapat gertakan dari salah seorang petinggi militer di provinsi tersebut. “Dia ancam Munir, ‘kamu saya jadikan sosis kalau begini terus’,” kata mantan komisioner Komisi Kepolisian Nasinoal atau Kompolnas itu. “Tapi Munir cuek saja.”
Meski begitu, Poengky berujar pengalaman Munir dengan tentara tidak hitam dan putih. Munir tidak selalu berseberangan dengan para prajurit. Dia, kata Poengky, juga memiliki koneksi di dalam angkatan bersenjata.
Setelah Munir pindah dari Jawa Timur ke Jakarta pada 1995, Poengky berkata mentornya itu tetap lantang mengkritik militerisme di tubuh Orde Baru. Namun, dia tidak menutup diri dari tentara. Munir kadang berdiskusi dengan mereka.
Poengky pernah menyaksikan sejumlah tentara datang ke kantor Imparsial, lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM) yang didirikan Munir, di Jakarta untuk berbincang-bincang. “Mereka membocorkan berbagai informasi,” ucap Poengky.
Istri Munir, Suciwati, mengatakan suaminya tidak membenci tentara. “Orang-orang berpikir bahwa Munir benci kepada militer, yang dia benci sebetulnya militeristiknya, bukan militernya,” kata Suciwati dalam sebuah wawancara dengan Amnesty International Indonesia.
Menurut Suciwati, Munir, yang wafat karena diracun pada 7 September 2024, bahkan ikut memperjuangkan hak-hak tentara. “Para kopral yang berpangkat rendah itu diperjuangkan kesejahteraannya oleh almarhum,” ucap perempuan yang menikah dengan Munir pada 1996 itu.
Al Araf, rekan Munir yang pernah menjabat sebagai direktur eksekutif Imparsial, mengatakan isu kesejahteraan prajurit penting bagi Munir. Menurut Al Araf, Munir juga menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam mendorong upah layak bagi tentara dalam legislasi negara.
Al Araf mengatakan Munir bersama forum Pro Patria, kumpulan akademikus yang juga mendorong reformasi militer, memberi masukan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Munir mendorong reformasi militer melalui perubahan-perubahan regulasi,” kata Al Araf kepada Tempo pada Rabu, 3 September 2025.
Ketika itu, pembahasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sedang berlangsung. Kedua regulasi tersebut dibahas setelah Reformasi 1998.
Seperti Suciwati, Al Araf menganggap Munir tidak benci tentara. “Justru Munir sayang dengan tentara, yang Munir lawan adalah politisasi terhadap institusi tentara yang terjadi pada masa Orde Baru,” ucap Ketua Badan Pekerja Centra Initiative itu.
Reformasi militer, termasuk soal peningkatan kesejahteraan prajurit, merupakan bagian dari agenda Munir untuk mewujudkan tentara yang profesional. “Yaitu tentara yang tidak berpolitik, tentara yang tidak berbisnis,” tutur Al Araf.
Menurut Munir, banyak persoalan di tubuh militer yang bisa selesai jika prajurit tak dipusingkan dengan asap dapurnya. Mereka jadi bisa berkonsentrasi menjalankan tugas pertahanan negara secara profesional tanpa harus menyambi jadi tukang pukul atau satpam bayaran.
Al Araf menilai reformasi militer yang ikut diperjuangkan Munir pada masanya masih jauh dari kata selesai. Dia berujar saat ini, 21 tahun setelah kematian Munir, tentara masih diberi tugas yang melenceng dari urusan pertahanan negara.
Di antaranya soal keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di program food estate hingga jabatan-jabatan sipil di kementerian atau lembaga negara. “Kalau Munir masih hidup, dia akan menilai bahwa transformasi dan reformasi TNI justru mundur jauh ke belakang,” kata Al Araf.
Munir dibunuh di langit Romania saat pesawat Garuda bernomor 974 membawanya untuk studi ke Utrecht pada 7 September 2004. Dia berusia 38 tahun saat wafat. Dalang pembunuhan aktivis hak asasi manusia itu belum juga terungkap hingga sekarang.