LIMA mahasiswa mengajukan permohonan uji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau (UU MD3). Permohonan itu diajukan oleh mahasiswa bernama Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna dan teregister dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025.
Dalam petitum gugatan, para pemohon meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen, bisa memberhentikan anggota DPR. “Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” kata Ikhsan selaku pemohon I, dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 19 November 2025.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Pasal yang mereka uji mengatur tentang syarat pemberhentian antarwaktu anggota DPR. Pasal 239 ayat (2) huruf d menyatakan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila “diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
[–>
Para pemohon berpendapat pasal yang ada saat ini menyebabkan terjadinya pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR. Namun, menurut mereka, partai politik dalam praktiknya selama ini seringkali memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat.
Sebaliknya, ketika rakyat meminta anggota DPR untuk diberhentikan karena tidak lagi mendapat legitimasi dari konstituen, anggota tersebut justru dipertahankan oleh partai politik.
[–>
Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Musababnya, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat. Para pemohon pun menyatakan tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye karena tidak lagi memiliki daya tawar setelah pemilu selesai.
Maka dari itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan beleid tersebut menjadi “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Lantas, bagaimana respons politikus yang kini menghuni kursi DPR?
Politikus Gerindra Bob Hasan: Itu Dinamika, Enggak Masalah
Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan menyatakan setiap warga negara berhak untuk mengajukan gugatan terhadap undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. “Itu memang satu dinamika yang harus terus dibangun ketika ada hal yang menurut pikiran dan perasaan rakyat Indonesia (yang) ada ganjarannya, bisa mengajukan gugatan judicial review. Enggak ada masalah,” kata Bob di Kompleks DPR, Jakarta, pada Kamis, 20 November 2025.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan bahwa mekanisme pemberhentian anggota lewat pergantian antarwaktu (PAW) harus berdasarkan UU MD3, yaitu melalui partai politik. “Ketika sudah masuk menjadi wakil rakyat, maka itu diatur oleh MD3. Nah, MD3 itu juga masuk bagian daripada adanya pelibatan partai politik,” kata Bob.
Dia tidak secara gamblang mengutarakan pendapatnya mengenai peluang MK mengabukan gugatan masyarakat yang ingin bisa memberhentikan anggota DPR lewat PAW. Bob berujar, peluang bisa tercipta selama ada pertimbangan konstitusional. “Sekarang kan semua di Mahkamah Konstitusi, itu bukan masalah bisa dan tidak bisa, akan dipertimbangkan sepanjang ada tarikannya dengan konstitusi kita untuk menerima,” kata dia.
Politikus Golkar: Mekanisme Pemecatan Anggota DPR Bukan Ranah MK
Anggota Komisi III DPR Soedeson Tandra menilai mekanisme pemecatan anggota DPR yang termaktub dalam UU MD3 bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Menurut Soedeson, mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3 bersifat open legal policy atau merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. “Kalau saya, (mekanisme) itu masuk ke open legal policy yang bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Saya berpendapat pribadi, ya, begitu,” ujar Soedeson di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 20 November 2025.
Politikus Partai Golkar ini menilai gugatan tersebut hal yang wajar, apalagi di negara demokrasi. “Tapi kan kita harus kembali ke sistem. Betul kan? Di dalam sistem itu, perekrutan itu mulai dari bawah ke atas. Keterpilihan itu. Dan itu kemudian diserahkan kepada partai politik dan DPR,” kata dia.
Soedeson pun berujar, pemilihan maupun pemberhentian anggota DPR sepenuhnya merupakan kewenangan partai politik yang diatur di dalam UU MD3. Hal tersebut, ia kembali menegaskan, merupakan ranah pembuat undang-undang, bukan hal yang bisa diintervensi atau diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Soedeson pun berpendapat beleid yang selama ini berlaku bukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945. “Kecuali saya melakukan pidana dan sebagainya. Kan itu masuk open legal policy. Jadi enggak bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi,” ujar dia.
Menurut dia, setiap politikus yang menduduki kursi DPR dipilih oleh rakyat atau konstituennya masing-masing. “Misalnya begini, ya, saya terpilih dari Papua Tengah. Yang minta pecat saya orang Sumatera Utara misalnya. Tidak pas, kan? Sehingga ini semua perlu diatur,” kata dia kemudian.
PAN: Evaluasi Tetap Lewat Partai
Anggota Komisi XII DPR Mohammad Eddy Dwiyanto Soeparno mengatakan kewenangan untuk mengganti anggota DPR merupakan ranah partai politik. Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini menegaskan partainya menghargai aspirasi masyarakat sipil.
Ia membantah partainya resistan terhadap uji materiil Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, yang mengatur pemberhentian antarwaktu anggota DPR berdasarkan usulan partai. “Sampai saat ini mekanisme berdasarkan undang-undang, itu berada di tangan partai politik untuk melakukan evaluasi, dan kemudian melakukan peninjauan apakah yang bersangkutan akan tetap menjabat sebagai anggota dewan, ataupun perlu adanya pergantian,” kata Eddy saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta, pada Kamis, 20 November 2025.
Eddy berpendapat, masyarakat tetap bisa berpartisipasi mengevaluasi kinerja DPR kendati kewenangan pemberhentian hingga penggantian legislator menjadi milik partai. Salah satunya adalah saat pemilihan legislatif ketika anggota dewan kembali mencalonkan diri.
“Masyarakat bisa mengevaluasi selama dia menjadi anggota, apakah bikin kerja baik, apakah memenuhi janji-janjinya, mengurusi konstituennya, sehingga kemudian bisa mengevaluasi dan menentukan apakah mau memilih kembali atau tidak,” tutur Wakil Ketua MPR itu.
Lalu cara kedua yang digunakan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja DPR adalah menyampaikan aspirasinya langsung kepada partai politik yang menaungi legislator tersebut. “Sehingga nanti partai politik bisa melakukan evaluasi apakah akan kemudian dilihat, ditinjau ulang keberadaannya di DPR, dan lain-lain,” ujar dia.
Secara terpisah, Ketua Fraksi PAN DPR Putri Zulkifli Hasan mengatakan akan mencermati gugatan terhadap UU MD3 di MK. Dia mengatakan belum mempelajari isi gugatan tersebut dan butuh waktu untuk melakukannya. “Pasti akan dipelajari oleh Fraksi PAN. Nanti kami akan komentar,” ujar Putri di Kompleks DPR, Jakarta, pada Kamis.
Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa Kampus Kian Alergi terhadap Diskusi Mahasiswa
