KOALISI Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, memberikan penjelasan ihwal sejumlah substansi pasal dalam UU KUHAP yang dinilai hoax oleh DPR.
Koordinator Koalisi, Muhammad Isnur, mengatakan, Pasal 136 ayat (2) pada draf UU KUHAP versi 18 November 2025 yang mengatur penyadapan memang menyebutkan ketentuan penyadapan akan diatur lebih lanjut dalam UU Penyadapan yang akan dibahas selanjutnya.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
“Namun, perlu ditekankan dalam Pasal 136, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa batasan jenis tindak pidana,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis, 20 November 2025.
[–>
Potensi bahaya lain dia melanjutkan, penyadapan juga dapat dilakukan penyidik tanpa ada safeguard, dan tak ada satu pun pasal dalam UU KUHAP yang menjelaskan penyadapan tidak dapat dilakukan sampai dengan diundangkannya RUU Penyadapan.
Alih-alih menguatkan posisi hukum warga negara dan nilai-nilai HAM, kata dia, UU KUHAP justru memberikan legitimasi kepada penyidik untuk melakukan penyadapan bagi semua jenis tindak pidana. Apalagi, proses pengesahan RUU Penyadapan juga tak diketahui pasti ihwal pelaksanaannya.
[–>
“Sehingga ketakutan penyadapan akan diberlakukan tanpa batasan adalah valid,” ujar Isnur.
Kemudian, Pasal 140 ayat (2) berkaitan dengan pemblokiran tanpa izin pengadilan. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan bahwa dalam UU KUHAP seluruh bentuk pemblokiran rekening, data digital, dan media sosial dilakukan dengan mendapatkan izin hakim.
Namun, Isnur mengatakan, izin hakim yang dimaksudkan dapat dikecualikan sehingga bersifat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif, misalnya pemblokiran dapat dilakukan tanpa izin pengadilan berdasarkan situasi penilaian penyidik. “Frasa penilaian penyidik sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan pemblokiran tanpa izin pengadilan,” ucap dia.
Ketentuan ini, kata dia, juga selaras dengan Pasal 44 UU KUHAP terkait penyitaan. Dalam penjelasannya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, mengatakan semua bentuk penyitaan dapat dilakukan penyidik tanpa izin pengadilan apabila dalam kondisi mendesak terhadap benda bergerak atau yang dapat secara fisik dipindahkan.
Menurut Isnur, ketentuan itu bermasalah karena alasan penyitaan, seperti misalnya telepon genggam, kendaraan, dan lainnya dapat disita tanpa izin pengadilan dengan alasan kondisi mendesak.
Kemudian, dia mengatakan, Pasal 93 yang mengatur soal penangkapan dan Pasal 99 serta dan 100 UU KUHAP versi draf 18 November 2025 terkait penahanan. Sebagaimana disampaikan Habiburokhman, kata dia, Pasal 93 menyebut seseorang dapat ditangkap setelah penetapan tersangka yang mesyaratkan dua alat bukti.
Lalu, soal penahanan, Habiburokhman menyebut tindakan itu dapat dilakukan apabila terdakwa mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, menghambat proses pemeriksaan, berupaya melarikan diri, melakukan ulang pidana, terancan keselamatannya, hingga mempengaruhi saksi untuk berbohong.
Isnur mengatakan, alur izin penangkapan, penahanan, dan upaya paksa sebetulnya sama sekali tak berubah secara konsep dengan KUHAP existing. Namun, terdapat catatan besar yakni, terkait dengan fakta jarang ditemukan di negara demokratis mana pun soal kewenangan merampas kemerdekaan seseorang datang dari otoritas selain pengadilan.
“Indonesia harusnya sudah mulai mengarah pada perkembangan ini, khususnya untuk perubahan KUHAP yang baru dilakukan setelah berlaku 40 tahun lebih,” katanya.
Isnur mengatakan, berkaitan dengan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan dalam tahap penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUHAP yang dilabeli Habiburokhman sebagai Koalisi pemalas karena tak mengikuti penuh pembahasan.
Dalam penjelasannya, Habiburokhman mengatakan, bunyi Pasal 16 UU KUHAP justru menyatakan penyelidikan dengan cara operasi terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan merupakan teknik investigasi khusus yang diatur dalam UU, antara lain pada UU mengenai narkotika dan psikotropika.
Isnur menjelaskan, koalisi justru mencatat ketentuan pasal itu baru dimuat dalam draf UU KUHAP tertanggal 18 November 2025. Pada Pasal 16 dan penjelasan Pasal 16 juga terdapat pertentangan antara penyebutan “kewenangan penyelidikan” dengan “teknik investigasi khusus”.
Masalahnya, teknis investigasi khusus adalah teknik yang dilakukan pada tahap penyidikan, bukan pada saat tahap penyelidikan. Penjelasan Pasal 16, kata dia, juga bertentangan dengan UU Narkotika yang menggunakan istilah “teknik penyidikan” untuk tindakan penyamaran, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan.
“Penjelasan Pasal 16 yang baru disisipkan dalam draf UU KUHAP per 18 November maupun penjelasan Habiburokhman tersebut sama sekali tidak menjawab masalah yang diangkat,” ujar Isnur.
Koalisi, kata dia, juga menyinggung soal penjelasan Habiburokhman dalam Pasal 74A dan Pasal 79 UU KUHAP terkait restorative justice di penyelidikan. Ketentuan ini, menurut Isnur, mengaburkan penyelidikan, apalagi penyelidikan merupakan proses yang terbatas untuk mengkonfirmasi ada tidaknya peristiwa pidana.
Lalu, terkait ketentuan penyidik utama sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7 ayat (3,4,5), Pasal 8 ayat (3), Pasal 24 ayat (3) UU KUHAP draf versi 18 November 2025 yang disebut Habiburokhman Polri menjadi penyidik utama karena amanat konstitusi, dan PPNS atau penyidik lain merupakan pendukung dalam penegakan hukum.
Menurut Koalisi, ketentuan ini justru tidak efisien dan cenderung mengganggu independensi penyidik tertentu atau penyidik PPNS karena menjadikan kewenangan polisi semakin superpower, bahkan pada bidang penyidikan kasus spesifik.
“Yang diperlukan dari polisi hanyalah untuk membantu PPNS atau penyidik tertentu dalam hal perlu melakukan penangkapan, pengejaran atau upaya paksa lainnya, bukan untuk mengontrol seluruh proses penyidikan oleh PPNS dan penyidik tertentu yang telah mendapatkan mandat oleh UU masing-masing,” kata Ketua Umum YLBHI itu.
Adapun, di tengah kritik dan gelombang penolakan, DPR dan pemerintah berkukuh mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU. Habiburokhman mengklaim, KUHAP yang baru ditujukan untuk memperkuat posisi warga negara, termasuk kelompok rentan dalam hukum.
Ia juga mengklaim, dalam pembahasannya Komisi III DPR dan pemerintah telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna, yaitu dengan mendengarkan masukan-masukan dari pelbagai unsur, termasuk Koalisi.
“Tetapi, tidak semua masukan dapat diakomodasi. Inilah realitas parlemen,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
