KAUKUS Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA, mengkritik pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dilakukan DPR dan pemerintah pada sidang paripurna siang hari tadi.
Presidium KIKA Herdiansyah Hamzah mengatakan para akademisi prihatin terhadap proses pembahasan RUU KUHAP yang dikebut dan mengandung substansi pasal bermasalah dalam pengesahannya, yang berpotensi mengancam hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kebebasan akademik di Tanah air.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
“Pengesahan RUU KUHAP tidak hanya mengancam masyarakat sipil. Tetapi, juga mengancam kegiatan intelektual dan penelitian kritis,” kata Herdiansyah dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 18 November 2025.
[–>
Menurut dia, proses legislasi yang dilakukan secara terburu-buru menunjukan, bahwa praktik legislasi yang dilakukan amat buruk dan terang-terangan mengkhianati prinsip partisipasi bermakna sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi.
Dia mengatakan, dalil DPR dan pemerintah yang mengebut pembahasan RUU KUHAP untuk menyesuaikan dengan pemberlakuan KUHP baru adalah tidak berdasar dan tidak dapat dijadikan legitimasi untuk mengabaikan masukan substantif dari masyarakat sipil, baik melalui RDPU maupun tertulis.
[–>
“DPR dan pemerintah wajib merombak total proses pembahasan guna memastikan setiap pasal diperiksa secara cermat dan mendalam oleh para ahli dan pemangku kepentingan,” ujar pengajar di Universitas Mulawarman ini.
Presidium KIKA lainnya Rina Mardiana melanjutkan sejumlah pasal yang termaktub dalam RUU KUHAP berpotensi mengancam kebebasan akademik. Ia khawatir pasal tersebut bakal menjadi senjata untuk melanggengkan kriminalisasi terhadap para akademikus yang lantang menyuarakan kebenaran ilmiah, khususnya terhadap kebijakan negara.
Dia mencontohkan, ketentuan Pasal 16 RUU KUHAP yang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan yang diperluas untuk semua jenis tindak pidana di tahap penyelidikan.
Menurut Rina, dalam konteks akademik pasal itu dapat digunakan untuk menjebak mahasiswa atau peneliti yang terlibat dalam gerakkan sosial yang mengkritisi korupsi institusional, atau kajian sensitif dengan menciptakan tindak pidana melalui operasi terselubung.
“Hal ini akan melumpuhkan keberanian intelektual dan memisu sensor diri yang masif di lingkungan kampus,” ujar Rina.
Dia melanjutkan, pasal lain yang bermasalah dalam RUU KUHAP, adalah pasal 5, 90, dan 93 yang memungkinkan aparat untuk melakukan pengamanan, penangkapan, bahkan penahanan kendati perkara masih dalam tahap penyelidikan.
Rina berpendapat, ketentuan ini problematik karena dapat mengancam independensi dan keberanian akademikus untuk mengumpulkan data sensitif, misalnya terkait dengan pelanggaran HAM atau kejahatan lingkungan.
“Ini ancaman nyata terhadap otonomi keilmuan,” kata pengajar di IPB University itu.
Presidium KIKA selanjutnya Dodi Faedlullah mengatakan pasal dalam RUU KUHAP seperti di Pasal 105, 112A, 132, dan 124 yang memungkinkan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan tanpa izin pengadilan juga berpotensi mengganggu kebebasan akademik.
Alasannya, dia menjelaskan, kebebasan akademik menuntut adanya jaminan kerahasiaan sumber informasi, data penelitian, dan temuan awal yang sangat penting, khususnya dalam riset sosial, politik, dan hukum.
Dia mengatakan, jika aparat dapat menyita perangkat elektronik, memblokir komunikasi, dan menyadap akademikus tanpa judicial scrunity maka kerahasiaan sumber akan musnah, menempatkan informan dalam keadaan bahaya, hingga menyebabkan aktivitas kebebasan akademik terhambat lantaran terciptanya ketakutan.
Dodi melanjutkan, pasal 7 dan 8 dalam RUU KUHAP juga berpotensi membuat kepolisian sebagai lembaga yang superpower karena menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PPNS di bawah koordinasi Polri.
“Bagi akademikus yang sering mengkritik kerja penegak hukum, struktur superpower ini akan semakin menyulitkan upaya pencarian keadilan atau advokasi melalui jalur hukum,” kata pengajar di Universitas Lampung ini.
Adapun, di tengah kritik dan gelombang penolakan, DPR dan pemerintah berkukuh mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU pada sidang paripurna, Selasa, 18 November 2025.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengklaim, KUHAP yang baru ditujukan untuk memperkuat posisi warga negara, termasuk kelompok rentan dalam hukum.
Ia juga mengklaim, dalam pembahasannya Komisi III DPR dan pemerintah telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna, yaitu dengan mendengarkan masukan-masukan dari pelbagai unsur, termasuk Koalisi.
“Tetapi, tidak semua masukan dapat diakomodasi. Inilah realitas parlemen,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
Pilihan Editor: Setelah KUHAP, Pemerintah dan DPR Siap Bahas RUU Penyadapan
