PUBLIK memprotes penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Masyarakat sipil dari berbagai latar belakang menilai Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak memberi status tersebut kepada mantan mertuanya yang punya catatan kelam selama 32 tahun berkuasa.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Soeharto mendapat gelar itu bersama sembilan tokoh lainnya pada Hari Pahlawan, Senin, 10 November 2025. Presiden Prabowo mengundang para ahli waris penerima gelar pahlawan nasional dalam upacara penganugerahan di Istana Kepresidenan Jakarta.
[–>
Kritik dari publik sudah datang dari sebelum Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Para aktivis hingga akademisi telah menolak wacana itu sejak nama Soeharto baru berupa usul di Kementerian Sosial serta Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Kini, setelah presiden kedua itu secara resmi menyandang gelar pahlawan, semakin banyak masyarakat yang menolak. Kritik terus berdatangan. Tempo mencuplik sebagian di antaranya:
[–>
Amnesty International Indonesia
Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah membatalkan gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto. Amnesty menilai Soeharto tidak layak mendapat gelar tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid menilai Soeharto adalah tokoh yang paling berperan dalam kekerasan negara era Orde Baru. Rezim Soeharto, kata Usman, memiliki andil dalam kasus kejahatan kemanusiaan termasuk pembantaian massal 1965-1966 hingga penembakan misterius 1982-1985, di samping kasus-kasus lainnya.
Usman Hamid menilai pemerintah seperti mengabaikan rekam jejak kelam Soeharto. “Hingga saat ini, tak satu pun pelaku utama, termasuk Soeharto, pernah dimintai pertanggungjawaban,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin, 10 November 2025.
Usman menegaskan, negara seharusnya mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM era Orde Baru. “Tolak segala bentuk manipulasi sejarah dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM, baik melalui kebijakan kebudayaan, pendidikan, maupun narasi resmi negara,” ucap dia.
Usman mengkritik sejumlah pejabat yang memberi pembenaran mengenai pemberian gelar pahlawan nasional untuk mantan presiden Soeharto dengan dalih setiap orang memiliki kesalahan. Amnesty menilai rekam jejak kelam Soeharto selama memerintah bukan sekadar perbuatan salah.
“Masalahnya adalah (rekam jejak Soeharto) ini bukan ‘kesalahan’, tapi kejahatan yang tergolong paling serius dan secara hukum tak bisa diputihkan,” kata Usman.
Indonesia Corruption Watch
Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan simbol kematian reformasi. Reformasi memiliki agenda mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Namun agenda reformasi terbukti gagal. Soeharto seharusnya tidak pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional,” ujar dia dalam keterangan resmi, Senin, 10 November 2025.
Egi berkata Soeharto tidak pernah diadili atas dugaan kejahatan yang dilakukan. Penegakan hukum kejahatan korupsi yang Soeharto lakukan bersama kroni-kroninya tidak pernah dituntaskan.
Menurut dia, korupsi sistemik di Indonesia yang diwariskan Soeharto tidak pernah hilang. Aktor bisnis dan politik di Indonesia bahkan banyak yang terhubung dengan Orde Baru.
Public Virtue Research Institute
Lembaga kajian Public Virtue Research Institute (PVRI) menyebut penganugerahan gelar dari Presiden Prabowo untuk mantan mertuanya tersebut sebagai skandal terbesar era Reformasi 1998.
Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq mengatakan keputusan itu mengabaikan penolakan masyarakat sipil, termasuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di era Soeharto. “Keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah,” kata Naziful dalam keterangan tertulis pada Senin, 10 November 2025.
Menurut Naziful, para pejabat yang memberi Soeharto gelar hanya mempertimbangkan kelayakan secara administratif. Dia menyebut keputusan itu cacat logika. Sebab, kata Naziful, kelayakan administratif tak ada artinya jika dibandingkan kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi saat Soeharto berkuasa.
Sejumlah politikus hingga akademikus mempertanyakan gelar pahlawan nasional untuk mantan presiden Soeharto. Mereka menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto memberi gelar pahlawan kepada mantan mertuanya itu penuh tanda tanya.
Sikap para politikus dan akademikus itu mereka sebar luaskan melalui aplikasi perpesanan WhatsApp. “Atas nama keadilan sejarah dan integritas moral bangsa, kami mempertanyakan keputusan negara yang menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” tulis politikus Partai Demokrat, Andi Arief bersama sejumlah tokoh lainnya dalam pernyataan sikap itu, Senin, 10 November 2025.
Andi menyebut para penandatangan tidak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapapun terhadap Indonesia, termasuk Soeharto. Namun, kata dia, kepahlawanan adalah gelar yang jauh lebih besar daripada sekedar menghargai jasa seseorang.
Soeharto memiliki catatan buruk selama 32 tahun memerintah. Di antaranya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia hingga korupsi yang terjadi di bawah pengawasannya.
Pernyataan sikap tersebut mencantumkan nama beberapa akademikus dan politikus. Selain Andi Arief, terdapat nama sesama politikus Demokrat Rachland Nashidik, hingga mantan wakil menteri hukum dan hak asasi manusia sekaligus akademikus hukum Denny Indrayana. Tercantum juga nama akademikus Robertus Robet dan Bivitri Susanti.
Respons Keluarga Soeharto
Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto merespons berbagai tuduhan masyarakat sipil terhadap mantan presiden Soeharto. Presiden Prabowo Subianto telah resmi menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hari ini.
Tutut mengatakan keluarga Soeharto tidak perlu membela diri mengenai tuduhan itu. Dia mengklaim masyarakat sudah semakin pintar untuk melihat jasa Soeharto.
“Saya rasa rakyat juga makin pintar. Jadi, bisa melihat apa yang Soeharto lakukan, dan bisa menilai sendiri ya. Kami tidak perlu membela diri atau bagaimana,” ujar dia usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025.
