Ana Sayfa Haberler Şimdi devam eden Mount Padang sitesinin polemik geri dönüşü

Şimdi devam eden Mount Padang sitesinin polemik geri dönüşü

7
0


TEMPO.CO, Jakarta Pemugaran dan penelitian lanjutan Situs Gunung Padang di Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kembali dilakukan. Tim Peneliti Situs Megalitikum Gunung Padang akan melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan yang akan dimulai awal Agustus 2025 guna membantu 100 orang ahli dan peneliti.

“Kami masih mendata berapa banyak masyarakat di sekitar Situs Gunung Padang yang akan dilibatkan dalam membantu tim ahli dan peneliti,” kata Ketua Tim Peneliti Situs Megalitikum Gunung Padang Ali Akbar saat dihubungi Antara pada Rabu, 30 Juli 2025.

Dia mengatakan, terdapat sembilan peneliti utama dengan bidang keahlian khusus. Masing-masing ahli di bidang arkeologi, geologi, geofisika, stratigrafi, geografi, geodesi, biologi, arsitek, planologi, tradisi lisan, hidrologi, hingga geoteknik. Dari sembilan orang peneliti utama tersebut, masing-masing membawa anggota dalam timnya dengan status ahli.

Selain itu, seluruh anggota tim merupakan peneliti dari dalam negeri dan dipastikan tidak ada ahli dari luar negeri atau asing yang dilibatkan. Namun ketika ada peneliti asing yang menawarkan diri untuk ikut dalam tim pemugaran dan penelitian lanjutan, pihaknya tidak akan melarang.

Polemik Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti Belanda, Nicolaas Johannes Krom, di wilayah Gunung Melati pada 1914. Namun, saat itu tidak ada penelitian atau perbincangan lebih lanjut terkait temuan situs bersejarah tersebut.

Pada 1979, barulah seorang warga setempat kembali menemukan situs itu, yang disebut sebagai peninggalan purbakala. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pun mulai melakukan aktivitas ekskavasi untuk mencari tahu asal muasal batu-batu “misterius” di Cianjur, Jawa Barat itu.

Setelah studi arkeologis yang panjang hingga 2014, pemerintah akhirnya menetapkan Situs Gunung Padang sebagai Cagar Budaya Nasional. Area situs ini memiliki luas total 291.800 meter persegi, tetapi luas kompleks utamanya hanya 900 meter persegi. Berada di ketinggian 885 meter di atas permukaan laut, Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras.

Serangkaian penelitian kemudian menyatakan bahwa masyarakat penganut tradisi megalit telah mengonservasi situs Gunung Padang antara abad IV–XVI. Sebuah naskah Sunda Kuno menyebut tempat suci semacam itu sebagai kabuyutan. Budayanya lalu terus berlanjut ke masa Hindu-Buddha.

Secara umum, situs Gunung Padang digambarkan seperti sebuah punden berundak besar terkubur di dalam tanah dan hanya sebagian atasnya yang muncul ke permukaan. Peninggalan zaman megalitikum ini kerap diperdebatkan bentuk aslinya, yakni candi atau piramida. Namun, sejumlah peneliti Tanah Air meyakini bahwa hipotesis piramida keliru karena bukanlah kultur asli Indonesia.

Pada 2018, tim ilmuwan Indonesia mengklaim bahwa usia lapisan batu di Situs Gunung Padang semakin ke bawah semakin tua. Lapisan batu pertama diperkirakan berusia 3.500 tahun, lapisan kedua 8.000 tahun dan lapisan ketika 9.500 hingga 28.000 tahun.

Temuan kemudian dipublikasikan ke dalam artikel ilmiah oleh Danny Hilman dkk via jurnal online Archaeological Prospect di Wiley Online Library. Publikasi itu mengklaim situs Gunung Padang sebagai bangunan “mirip” piramida tertua di dunia, bahkan lebih tua dari Piramida Agung Giza di Mesir yang berusia sekitar 4.500 tahun.

Namun, jurnal online Archaeological Prospect di Wiley Online Library akhirnya mencabut publikasi artikel ilmiah hasil penelitian situs megalitik Gunung Padang di Cianjur. Pengumuman pencabutan disampaikan pada 18 Maret 2024. Penerbit menyebut laporan mengandung kekeliruan besar (major error).

Eror itu diakui tak teridentifikasi saat peer review atau kajian oleh ilmuwan lain yang tak terlibat penelitian. Kesalahan yang dimaksud adalah bahwa teknik penanggalan karbon yang digunakan kepada sampel tanah yang tidak terkait dengan fitur atau artefak apapun yang dapat secara meyakinkan diinterpretasi sebagai antropogenik, atau buatan manusia.

“Karenanya, interpretasi bahwa situs ini adalah sebuah piramida purba yang dibangun 9.000 tahun yang lalu atau lebih tidak benar, dan artikel harus dicabut,” bunyi hasil investigasi tersebut.

Dalam laporan majalah Tempo, 28 Januari 2024 disebutkan ada empat poin yang dipersoalkan para ahli yang dipakai Wiley. Pertama, para ahli mengkategorikan pengamatan visual sebagai imajinasi dan dugaan. Kedua, mereka menganggap tim peneliti menyalahgunakan penanggalan radiokarbon.

Kemudian ketiga, sampel tanah tidak mengandung artefak terkait sehingga penanggalan hanya menentukan umur bahan alami pembentuk tanah. Keempat, penanggalan disangsikan akurasinya karena dinilai sulit untuk ditentukan.

Ketua tim arkeologi Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang meneliti situs Megalitikum Gunung Padang selama Oktober 2011-2014, Ali Akbar, mengaku kecewa atas keputusan pencabutan artikel tersebut karena tidak ada riset pembanding dari lokasi. Untuk membantah makalah timnya, ujarnya, peneliti lain harus masuk ke kedalaman penggalian yang sama. Ali mengaku tim telah menggali sedalam 4-11 meter.

“Yang jadi kontroversi itu kedalaman 6-11 meter. Belum ada tim lain yang melakukan itu,” ujarnya dalama laporan Tempo.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Lutfi Yondri, arkeolog yang juga meneliti situs Gunung Padang sejak 1997 tapi tidak masuk TTRM, menyebut data verifikasi yang disampaikan TTRM, tidak mendukung makalah yang luar biasa itu.

“Tak ada satu pun jejak atau bukti budaya bahwa mereka telah mengenal teknologi batu untuk menghasilkan konstruksi yang besar,” ujarnya kepada Tempo.

Lutfi juga melakukan penggalian pada Teras-1 sampai Teras-4 untuk pembuktian. Ia mengaku menemukan sisa arang yang kemudian dijadikannya sampel untuk analisis penanggalan budaya punden berundak Gunung Padang. Arang itu, kata Lutfi, berasal dari kayu yang terbakar pada masa lalu. Lokasi penemuannya di bawah susunan dinding teras. Selain itu, ditemukan pula pecahan tembikar.

Menurut dia, berdasarkan analisis penanggalan karbon di laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional, arang temuan di Teras-1 itu berangka 117 tahun sebelum Masehi dan di Teras-4 berangka 45 tahun sebelum Masehi. “Arang itu satu konteks, satu keletakan, satu asosiasi, dan satu struktur teras atau susunan batu.”

Erwin Prima, Andika Dwi, Nia Heppy, dan Syahdi Muharram berkontribusi dalam penulisan artikel ini



Kaynak bağlantısı