Suharto’nun Ulusal Kahraman Olma Teklifinin Reddedilmesi Seli


NAMA Soeharto yang diusulkan sebagai pahlawan nasional oleh Kementerian Sosial telah diterima oleh Istana. Selain mantan presiden itu, terdapat 39 nama lain yang diusulkan menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Saat ini Presiden Prabowo Subianto bersama Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tengah mengkaji usulan tersebut. Pengumuman nama-nama yang diputuskan mendapat gelar Pahlawan Nasional bakal disampaikan pada 10 November mendatang.

[–>

Gelombang penolakan dari masyarakat sipil terhadap masuknya nama Soeharto dalam daftar pahlawan makin masif menjelang pengumuman. Sejumlah kelompok masyarakat sipil berkali-kali berdemonstrasi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Soeharto mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas menggeruduk kantor Kementerian Kebudayaan di Jakarta pada Kamis, 6 November 2025. Mereka menilai pemberian gelar kepada Soeharto akan mencederai status kepahlawanan di Indonesia.

[–>

Perwakilan Gemas, Axel Primayoga, menyebut Soeharto berperan dalam pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, kolusi, serta nepotisme. Dia mengatakan rekam jejaknya itu membuat Soeharto tak cocok mendapat gelar pahlawan nasional.

Adapun gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada seseorang yang telah berjuang melawan penjajahan di Indonesia, yang gugur atau meninggal demi membela bangsa dan negara. Gelar tersebut juga diberikan kepada tokoh yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Axel turut menyinggung rekam jejak kepemimpinan Soeharto sebagai presiden yang represif. Menurut dia, rezim Orde Baru selama kekuasaan Soeharto telah menindas rakyat dan membungkam suara kritik masyarakat.

Berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) juga terjadi di era kepemimpinan Soeharto. “Dari tahun 1965 hingga Mei 1998 dan juga residu-residunya, ribuan nyawa melayang tanpa keadilan,” ucap Axel.

Dia turut menyinggung amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XI/MPR/1998 yang menegaskan Soeharto harus dimintai pertanggungjawaban atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. TAP tersebut dicabut oleh MPR pada tahun lalu, tetapi Axel menilai pencabutannya bermasalah.

Dia mengatakan upaya menghapus nama Soeharto dari TAP MPR tidak berdasar. Menurut dia, hal itu dilakukan untuk memanipulasi hukum sehingga Soeharto bisa menyandang gelar pahlawan nasional.

Penolakan pemberian gelar pahlawan nasional ke Soeharto juga menggema di Aksi Kamisan. Puluhan orang dari Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi damai di seberang Istana Negara, Jakarta pada Kamis, 6 November. Mereka menuntut pemerintah agar tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden di era Orde Baru itu.

Tak hanya masyarakat sipil, penolakan atas usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto juga disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno. Dia merupakan Imam Katolik sekaligus pengajar ilmu filsafat.

Romo Magnis mengatakan keterlibatan Soeharto dalam dugaan korupsi di era Orde Baru membuatnya tak layak menjadi pahlawan nasional. “Soeharto melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, orang lain, orang dekatnya, memperkaya diri sendiri. Itu bukan Pahlawan nasional,” kata Romo Magnis dalam diskusi Menolak Gelar Pahlawan Soeharto di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa, 4 November 2025.

Selain itu, dia mengatakan Soeharto bertanggung jawab dalam peristiwa genosida 1965-1966 yang memakan korban hingga jutaan jiwa. Dia berujar pahlawan nasional idealnya tidak melakukan pelanggaran etika apalagi kejahatan.

Namun, di tengah penolakan itu, justru sejumlah pihak menyatakan dukungan atas pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Misalnya yang disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh.

Dia menyatakan semua mantan presiden layak mendapat gelar pahlawan nasional tanpa terkecuali. Menurut dia, semua tokoh yang pernah memimpin Indonesia adalah pahlawan, termasuk Soeharto.

“Pak Karno (Sukarno), Pak Harto, Pak Habibie, dan Gus Dur (Abdurahman Wahid), adalah para pemimpin bangsa yang layak menjadi pahlawan”, ujar Niam dalam keterangannya pada Rabu, 5 November 2025.

Dia menilai pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan sikap kenegarawanan dengan memasukkan nama Soeharto di daftar usulan Pahlawan Nasional. Dia menilai Prabowo ingin merangkul dan membangun keharmonisan antarbangsa.

Niam lantas mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak mengungkit jejak kelam dan masa lalu Soeharto. Menurut dia, tidak ada orang di dunia ini yang sempurna.

“Sehebat apa pun orang, jika dicari kesalahan dan kelemahannya pasti ada. Namun Islam memerintahkan untuk mengingat kebaikannya dan memendam serta memaafkan kesalahannya,” ucap Guru Besar UIN Jakarta ini.

Merespons pro dan kontra itu, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Fadli Zon mengatakan Soeharto memenuhi syarat untuk menyandang pahlawan nasional. Keputusan Soeharto telah memenuhi syarat, kata dia, bukan hanya dari pihaknya saja, melainkan juga dari kabupaten/kota atau provinsi. 

Kemudian, usulan itu disebut dikaji kembali oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat atau TP2GP yang terdiri sejarawan, akademisi, tokoh agama, dan aktivis. “Jadi memenuhi syarat dari bawah. Dari beberapa layer itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah dan itu datangnya dari masyarakat juga,” ucap Menteri Kebudayaan itu pada Rabu, 5 November 2025.

Hendrik Yaputra dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan editor: LBH Pers soal Gugatan Amran terhadap Tempo: Persoalan Sederhana tapi Dibuat Rumit



Kaynak bağlantısı