INFO NASIONAL – Karung-karung berisi sampah menggunung di depan halaman Kantor Kelurahan Mampang Prapatan. Setelah ditimbang, sejumlah relawan membuka dan memilahnya kembali. “Setelah ini kita setor ke Bank Sampah Induk,” kata Djuraidah Mahmud, pendamping bank sampah kelurahan itu “Sesuai Pergub 77, satu RW memang diwajibkan punya satu bank sampah.”
Ida–panggilan Djuraidah–sudah dua tahun mendampingi pengelolaan sampah di wilayahnya. Ada tujuh Rukun Warga (RW) dan saat ini telah memiliki bank sampah, namun paling aktif di RW 5, Bank Sampah Mekar Sari, berlokasi di depan kantor kelurahan.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Kewajiban satu RW memiliki bank sampah merupakan turunan dari Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup RW. Aturan itu mengamanatkan pengurangan dan pemilahan sampah sejak dari sumbernya. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jakarta kini mempercepat implementasi regulasi itu melalui pelatihan pendamping dan penguatan peran kelurahan.
[–>
Kepala DLH Jakarta Asep Kuswanto menyebut masih ada sekitar 840 RW dari 2.748 RW di Jakarta yang belum memiliki bank sampah. Karena itu, pemerintah menargetkan pembentukannya rampung dalam waktu seratus hari. “Kewajiban satu RW memiliki satu bank sampah itu memang harus kami percepat,” ujarnya saat pertemuan dengan para pendamping, 21 Oktober 2025.
“Kalau tidak, nanti pada saat pemberlakuan retribusi dan bank sampahnya belum terbentuk, maka itu akan menyulitkan masyarakat,” kata dia. Masyarakat yang tidak memilah sampah atau belum menjadi nasabah bank sampah berpotensi dikenai biaya retribusi kebersihan. Kebijakan ini menjadi bentuk dorongan agar setiap RW segera memiliki bank sampah aktif.
[–>
Setelah mengikuti pertemuan di Kantor DLH itu, Ida semakin gencar mengedukasi semua RW di kelurahannya, bahkan kerap sehari penuh memberi edukasi pada pengurus bank sampah. Pekan terakhir Oktober lalu, Ida terkejut begitu menjumpai bank sampah di RW 03 tampak sepi. Timbangan digital di sudut meja nyaris tak bergerak.
“Saya lihat, mereka kurang dalam pemilahan sampahnya,” katanya. “Kalau orang baru setor, ya seadanya. Belum detail.”
Ida juga menemukan pengurus yang membiarkan nasabah saat menyetor botol plastik masih mencampur tutup dan badan botol jadi satu. “Kalau di kami (Bank Sampah Mekar Sari), sudah diajarkan agar warga memisahkan tutup dan botol, karena beda nilainya,” ujarnya.
Ketua Bank Sampah Mekar Sari Kelurahan Mampang Prapatan, Djuraidah Machmud di depan halaman Kantor Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta, pada Rabu, 5 November 2025. TEMPO/ Abdul Karim
Masalah lain ia temukan di RW 07. Di sana, pengurus belum punya sistem pencatatan nasabah. “Mereka bilang, dari dulu juga begini,” tutur Ida sambil tersenyum. Ia lalu menjelaskan pentingnya sistem registrasi untuk mencatat siapa saja yang rutin menyetor, berapa berat setoran, dan saldo tabungan yang didapat. “Harus ada register. Harus punya rekening. Jadi lebih tertib,” katanya.
Meski begitu, tidak semua RW berjalan lambat. Di RW 04, hasilnya lebih menggembirakan. “Sudah lumayan, mereka mulai paham sistemnya,” ujar Ida. Ia menilai, semangat warga makin tumbuh seiring meningkatnya kesadaran soal nilai ekonomi dari sampah.
Menjaga bank sampah berkelanjutan, kata Ida, merupakan tantangan besar. Pengurus harus tetap bersemangat dan pantang menyerah. “Tantangan awal ada di pengurus. Kalau mereka mau terus belajar, pasti bisa. Salah satunya juga harus belajar untuk cek harga ke pengepul sehingga warga tetap memilih menyetor ke bank sampah,” ucapnya.
Selain itu, bank sampah tidak boleh bergantung pada satu orang atau ketua. Semua pengurus harus bekerja sebagai tim. “Di bank sampah kami, Mekar Sari, semua sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Jadi ketika saya sempat pergi umroh, penimbangan di sini jalan terus,” tutur dia.
Ida bercerita, ia bersama warga memulai Bank Sampah Mekar Sari pada 2014 dengan keringat berpeluh. “Kita berdiri bukan karena Pergub,” kata Ida. “Kita mendirikan bank sampah awalnya memang dari swadaya masyarakat sendiri, asli.”
Ia mengenang masa awal berdirinya Bank Sampah Mekar Sari, ketika dirinya masih menjabat Ketua RT. Saat itu, ada satu bank sampah lain tapi tak berjalan lama. Ida berupaya menghidupkan lagi. Nasabahnya hanya warga sekitar, dan hasil penjualannya tidak seberapa.
“Dulu itu malah sampai minus buat operasional,” ujarnya sambil tertawa. Belum ada Bank Sampah Induk kala itu, jadi setoran mereka langsung dijual ke pengepul keliling. Harga tak tentu, kadang rendah sekali. “Mereka kan asal nawar. Akhirnya kita rugi, warga pun nggak dapat hasil duit.”
Perlahan situasi berubah ketika Ida dan pengurus mendapat pendampingan dari Rumah Pelangi, sebuah lembaga yang aktif mengedukasi warga soal ekonomi sirkular. “Mereka mengajari kami cara menghitung supaya ada margin untuk operasional dan tabungan nasabah,” katanya. Dari pelatihan itu, Ida belajar mengelola keuangan bank sampah secara profesional, mulai dari pencatatan hingga sistem bagi hasil.
Setahun kemudian, pada 2015, keberadaan Mekar Sari mulai dikenal. Dalam sebuah acara yang digagas Indonesian Power, Ida memberanikan diri meminta bantuan peralatan. “Waktu itu kami masih pakai timbangan daging. Berat dan repot kalau nimbang sampah,” katanya. Gayung bersambut, Indonesian Power memberikan bantuan timbangan digital.
Bantuan itu menjadi titik balik. Perusahaan listrik itu beberapa kali datang memantau aktivitas mereka. Melihat komitmen dan perkembangan Mekar Sari, dukungan pun terus mengalir. “Mereka melihat kami serius, jadi bantu lagi dengan alat-alat lain,” ujar Ida.
Suasan Bank Sampah Mekar Sari di depan halaman Kantor Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta, pada Rabu, 5 November 2025. TEMPO/ Abdul Karim
Tak lama kemudian, Bank Mandiri juga turun tangan lewat program CSR-nya. Mereka menyumbangkan mesin pengepres sampah plastik, yang membuat aktivitas pengolahan sampah menjadi lebih efisien.
Bendahara Bank Sampah Mekar Sari, Iramiyati, menambahkan ada pula bantuan dari PLN. “Kami diberi voucher, jadi bayar listrik tidak terlalu mahal,” ucap dia sambil terkekeh. Menurut dia, warga RW 05 punya kesadaran tinggi soal kebersihan. Selain rajin memilah dan menyetor ke bank sampah, juga tidak terlalu peduli dengan jumlah tabungan yang ada. “Nasabah tujuannya agar lingkungan bersih, sampah tidak berserakan. Hasil penjualannya ditabung pelan-pelan nanti jadi bukit.”
Saat ini Bank Sampah Mekar Sari memiliki 343 nasabah. “Ada 150 yang aktif menyetor, lainnya terkadang muncul dan tidak. Kami menimbang dua bulan sekali, setiap Rabu,” tutur Ira. “Tapi nasabahnya bukan cuma warga, pamannya Bimbim (Slank) juga setor kemari, loh.”
ia menilai, kepengurusan di bank sampah ini sudah kompak. “Bahkan Bu Ida beberapa kali buat terobosan yang membuat nasabah senang,” ucapnya. Inovasi pertama, mereka pernah menggelar jalan-jalan ke tempat wisata dengan konsep menabung sampah. Alhasil, warga kian gencar mengirim setoran.
Inovasi kedua, Ida juga menginisiasi program pinjaman mikro bagi nasabah aktif. Mereka bisa meminjam uang untuk kebutuhan mendesak, dengan sistem pengembalian dipotong dari hasil setoran sampah berikutnya. “Sederhana saja, tapi sangat membantu warga,” ujar Ira.
Berkat upaya Ira, Ida, dan warga yang kian sadar kebersihan, Kelurahan Mampang Prapatan kini terlihat lebih asri. Bank Sampah Mekar Sari juga tidak beraroma busuk karena sampah langsung diangkut. Bangunan bank tersebut dipenuhi tanaman yang membuat suasana lebih asri, dan ibu-ibu sering bercengkerama di depannya, setiap sore. “Semoga seluruh RW di Jakarta juga punya semangat sama. Kita sukseskan satu RW, satu bank sampah di Jakarta.” kata Ida. (*)
