Cakarta’daki Değişikliklerin Filme Kaydedilmesi


KOTA SINEMA – Jakarta bukan sekadar latar dalam film Indonesia. Kota ini kerap menjadi “karakter” yang hidup. Suara bising jalan, sempitnya gang, dan wajah warganya yang sibuk mengadu nasib. Dari Si Doel Anak Betawi, Cintaku di Rumah Susun, Jakarta Undercover, maupun sang legenda Betawi, Benyamin Sueb.

Kalau mau lebih paham Jakarta, at least pada tahun 1970-80’an itu tonton film-filmnya Benyamin,” kata kritikus film sekaligus produser Hikmat Darmawan kepada Tempo di Jakarta Selatan, Rabu, 22 Oktober 2025.

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Ia sedang menyiapkan sebuah buku bertema 100 film tentang Jakarta, hasil riset panjang tentang bagaimana sinema Indonesia memotret kota ini. Benyamin tentu masuk. Namun, tak hanya tokoh yang khas Jakarta, Hikmat juga mengamati kebiasaan baru yang direkam oleh sinema. “Perhatikan tahun 1970-80’an, film kita banyak adegan menyeberang, melihat kanan-kiri ada mobil, itu perilaku baru buat orang Indonesia,” ujarnya.

[–>

Dalam risetnya, Hikmat menelusuri wajah Jakarta di layar berubah seiring waktu. Film awal seperti Dr. Samsi (1950) menggambarkan Jakarta yang masih setengah pedesaan. Tokoh utamanya tinggal di kawasan yang kini dikenal sebagai Kebayoran, daerah hasil proyek pascakemerdekaan untuk menata kota satelit pertama.

Ledakan penduduk pasca-1945 telah mengubah wajah Jakarta. Dalam dua dekade, penduduk kota ini melonjak dari 300 ribu menjadi lebih dari satu juta jiwa. Lahan kosong berubah menjadi gang-gang sempit. Rumah kontrakan tumbuh di mana-mana, membentuk kampung kota dengan mobilitas tinggi dan hunian sementara. Potret perubahan itu terekam dalam banyak film era 1950-1960-an.

[–>

Pada 1965, Hikmat menilai Liburan Seniman karya Usmar Ismail adalah film berharga untuk melihat ciri-ciri metropolitan mulai terlihat di Jakarta, ketika Bung Karno menggagas proyek mercusuar Ganefo, pesta olahraga sebagai tandingan Olimpiade. Meskipun film itu gagal beredar lantaran pecah peristiwa G30S. “Film itu belum selesai sebetulnya, karena enggak ada credit title, ending-nya pun enggak, kepotong. Tapi buat saya itu dokumen penting sekali,” ujarnya.

Memasuki masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin pada 1970-an, Jakarta resmi disebut kota metropolitan. Di layar lebar, kota ini tampil dengan segala kontradiksi: modern sekaligus kacau, glamor tapi getir. Film seperti Cintaku di Rumah Susun (1987) menunjukkan kehidupan urban yang padat, keras, tapi juga penuh harapan. “Itu Jakarta banget,” ujarnya.

Jakarta juga menjadi latar bagi mimpi dan mobilitas sosial baru. Dalam film Ambisi (1973), misalnya, penyiar radio menjadi simbol perubahan zaman—pekerjaan baru yang lahir di tengah ekonomi perkotaan. “Bagaimana pagi dibangunkan oleh radio, bagaimana mobilitas ekonomi diharapkan dari menjadi penyanyi, dan star maker-nya adalah penyiar,” kata Hikmat.

Namun tak semua film menyebut Jakarta secara terang. Janji Joni (2005) karya Joko Anwar, misalnya, tak pernah menyebut nama kota, tapi gaya hidup, humor, dan ritme ceritanya sangat urban. “Dia sebenarnya tidak pernah spesifik bilang itu Jakarta,” ucap Hikmat. Menurutnya, justru di situlah menariknya, kota ini hadir bukan sebagai properti, tapi sebagai semangat yang meresapi cerita.

Perubahan sosial juga tercermin dalam cara film menggambarkan hubungan desa dan kota. Pada 1970-1980’an, film Indonesia banyak menempatkan desa sebagai ruang moral yang murni, sementara kota digambarkan penuh tipu daya dan kriminalitas. “Maka kemudian banyak cerita-cerita kriminal, seksual, tahun 1970-an dan 1980-an,” kata Hikmat. Film seperti Hostess Anita (1971) menyoroti munculnya profesi baru dan gaya hidup urban yang lahir dari ekonomi metropolis.

Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail, bahkan pernah menyebut Jakarta sebagai “big village” untuk menyebut kota metropolitan dengan mental penduduk kampung pada masa itu. “Itu sudut pandang Usmar Ismail yang sangat sinis, dan film-film era itu menangkapnya dengan jelas,” kata Hikmat.

Kini, setelah lebih dari tujuh dekade terekam di layar, Jakarta tetap menjadi ruang naratif yang tak habis digali. Di masa kini, kota itu tampil dalam banyak bentuk: dari Merantau (2009) karya Gareth Evans, yang bercerita tentang perantau Minang di ibu kota, hingga Rindu Kami PadaMu (2004) karya Garin Nugroho yang menampilkan pasar tradisional dan keramaian urban.

Hikmat dan sejumlah kurator kini mencoba menghidupkan kembali film-film “Jakarta banget” melalui pemutaran di ruang publik, bekerja sama dengan komunitas Misbar Kota. Beberapa film, seperti Cintaku di Rumah Susun dan Merantau diputar di festival film, Madani International Film Festival. “Kami ingin orang menonton Jakarta di layar, dan melihat dirinya sendiri di sana,” ujar Hikmat.

Fenomena ini juga menghidupkan kembali budaya pop lama. Film Ambisi dan Duo Kribo (1977) kini kembali populer di kalangan anak muda. Musiknya diunggah ke platform Spotify dan menjadi hit, kaosnya dijual ulang, dan filmnya jadi bahan nostalgia. “Pertamanya ngetawain karena lucu, aneh menurut generasi baru, lama-lama kan jadi memuja,” kata Hikmat.

Dosen Jurusan Film Universitas Binus Jakarta, Ekky Imanjaya menilai tantangan berikutnya adalah bagaimana film bisa menjadi jendela bagi “film tourism” seperti di kota-kota dunia lain. Syaratnya, kata dia, film harus fenomenal dan membangkitkan keinginan orang untuk mendatangi lokasi-lokasi yang ditampilkan. “Memang itu susah mencari yang laku, fenomenal, dan kemudian orang merasakan kebutuhan untuk ke lokasi itu,” kata Ekky saat ditemui di kampusnya.

Di dalam layar, Ekky melanjutkan, Jakarta selalu bergerak seperti warganya. Dari kampung ke gedung, dari bioskop ke platform digital. Kota ini terus menulis dirinya dalam citra-citra baru sebagai kota sinema. (*)



Kaynak bağlantısı