TEMPO.CO, Jakarta – Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM mengancam akan menyerang kepala daerah dan legislator di daerah Papua. Kelompok pro kemerdekaan Papua itu memperingatkan para gubernur, bupati, wali kota, dan DPRD di Tanah Papua bila masih memihak pemerintah pusat Republik Indonesia.
“Jika pejabat-pejabat Papua masih terus menjadi boneka Jakarta, maka TPNPB wajib eksekusi mereka,” kata Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom dalam keterangannya pada Ahad, 20 Juli 2025.
Sebby mengatakan pejabat Papua semestinya tidak mendukung pemerintah Indonesia. Menurut Sebby, pemerintah Indonesia itu telah merampas sumber daya alam yang ada di Bumi Cendrawasih.
Dia mengklaim sumber daya alam yang ada itu milik masyarakat Papua. Sebby menyoroti kebijakan kepala daerah yang memberikan izin tambang emas di Papua kepada pemerintah Indonesia.
Menurut dia, pemberian izin itu bentuk ketidakmampuan kepala daerah melindungi masyarakat dan alam Papua. Sebby juga meminta kepala daerah menghentikan kebijakan Presiden Prabowo Subianto.
Sebby menilai, pelaksanaan kebijakan Prabowo justru membuat semakin banyak konflik bersenjata dan warga sipil mengungsi. “Semua pejabat Papua harus berhenti mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto,” ujar dia.
Karena itu, Sebby berpendapat bahwa pejabat Papua yang mendukung dan memihak pemerintah pusat, anti terhadap perjuangan masyarakat Papua itu sendiri. Perjuangan itu disebut untuk merdeka dari pemerintah Indonesia.
Pendiri Nalar Institute Yanuar Nugroho menilai ancaman dari kelompok OPM terhadap pemerintah daerah di Papua menjadi sinyal serius atas kegagalan negara dalam membangun kepercayaan. Termasuk menjamin keadilan bagi rakyat Papua.
“(Ancaman ini) yang sedang ditantang bukan hanya afiliasi politik, tapi legitimasi kebijakan publik itu sendiri,” kata Yanuar saat dihubungi pada Selasa, 22 Juli 2025.
Peringatan ini, ujar dia, membuat posisi pemerintah daerah di Papua menjadi dilematis. Di satu sisi mereka terikat secara struktural dengan pusat. Sedangkan di sisi lain harus menghadapi tekanan sosial dan keamanan dari OPM.
Apalagi, kata dia, kelompok separatis itu memiliki basis dukungan lokal untuk menjalankan ancamannya tersebut. Terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman, yang selama ini tak tersentuh oleh kebijakan pembangunan pemerintah.
Yanuar menilai ancaman OPM ke pejabat sipil di Papua memiliki dampak terhadap keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari terganggunya layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, hingga transportasi publik.
Selain itu, proyek pembangunan infrastruktur baik yang berskala nasional maupun lokal berpotensi tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan. Ancaman OPM ini, ujar dia, juga berpotensi menyempitkan ruang diskursus kebijakan publik di Papua.
Menurut Yanuar, ada kecenderungan bagi pejabat daerah untuk enggan berinisiatif melaksanakan kebijakan untuk publik bila berisiko ditafsirkan ‘tidak loyal’ oleh pihak tertentu. “Akibatnya kebijakan daerah kehilangan keberanian moral dan politiknya,” kata pengamat kebijakan publik ini.
Yanuar juga mengatakan, ancaman penyerangan ke pejabat daerah di Papua ini mengakibatkan pelaksanaan kebijakan daerah cenderung defensif. Artinya tidak progresif, tidak partisipatif, dan cenderung hanya merespons tekanan pusat ataupun upaya pemadaman konflik jangka pendek.
Kondisi itu, kata dia, rawan dimanfaatkan oleh OPM sebagai celah untuk membangun legitimasi alternatif di mata rakyat. Misalnya, menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak mampu melindungi, mendengar, dan tidak memiliki solusi yang relevan.
“Jika dibiarkan maka akan lahir dualisme otoritas di Papua, negara formal di atas kertas dan kekuasaan informal yang menguasai wilayah serta kesetiaan sosial,” ucap Yanuar.
Ancaman ini tidak hanya menghambat pembangunan di Papua. Bila pemerintah daerah gagal memformulasikan kebijakan yang sensitif terhadap dinamika lokal, Yanuar mengatakan bahwa legitimasi negara juga akan makin rapuh.
Menurut dia, dalam situasi di tengah ancaman ini pendekatan keamanan bukan solusi yang memadai. Dia menilai pemerintah daerah Papua mulai membangun strategi hibrid, yaitu menggabungkan pendekatan keamanan dengan inisiatif kemanusiaan.
“Pemerintah daerah perlu keluar dari sekadar menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat,” ucapnya.
Dia mendorong agar perlindungan terhadap layanan publik tetap menjadi prioritas. Tujuannya agar pelayanan untuk masyarakat tetap berjalan dan terjamin meski di tengah konflik.
“Jadi (penyelesaiannya) bukan sekadar soal teknokrasi dan prosedur, tapi tentang keberanian untuk hadir dan mengakui kompleksitas realitas Papua sebagai bagian dari republik,” ucapnya.
Juru Bicara Jaringan Damai Papua Yan Christian Warinussy mengatakan ancaman OPM terhadap pejabat di Papua musti disikapi serius. Ancaman ini, kata dia, dikhawatirkan memiliki ekses terhadap konflik kekerasan di Bumi Cendrawasih.
Karena itu, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum semestinya memetakan risiko bahaya dari ancaman tersebut. Tindakan penegakan hukum, ujar dia, juga bisa terjadi bila ada laporan ke polisi.
“Kalau hal itu terjadi, ada pengaruhnya terhadap keberlanjutan atau kepanjangan konflik di Papua,” kata pegiat HAM pada Selasa, 22 Juli 2025.
Menyikapi ancaman OPM terhadap pejabat publik di Papua, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan bahwa hal itu tidak perlu digubris. Sebab, menurut dia, ancaman penyerangan itu hanya propaganda kelompok pimpinan Goliath Tabuni tersebut.
“Itu hanya propaganda gerombolan OPM. Tidak usah dihiraukan dan didengarkan,” kata Kristomei.