MUHAMMAD Isnur kecewa ketika laporan media massa menyebut, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) mengubah vonis kurungan penjara seumur hidup menjadi kurungan penjara 15 tahun kepada dua eks prajurit TNI Angkatan Laut dalam kasus penembakan bos rental mobil.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI itu mengatakan, pengubahan vonis tersebut kian menguatkan praktik impunitas dan melemahkan komitmen penegakkan hukum yang setara di Indonesia.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
“Dalam beberapa bulan terakhir, publik disuguhkan berbagai putusan ringan bagi prajurit yang melakukan tindak pidana,” kata Isnur saat dihubungi, Ahad, 26 Oktober 2025.
[–>
Dia mencontohkan, selain pengubahan vonis bagi dua eks prajurit TNI AL, Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli, vonis ringan juga dirasakan oleh satu terdakwa lain, yaitu Sersan satu Rafsin Hermawan yang menerima korting hukuman dan sebelumnya 4 tahun kurungan penjara menjadi 2 tahun.
Sebelum itu, dia menuturkan, praktik korting hukuman juga terjadi kepada Sersan Satu Riza Pahlivi. Riza merupakan terdakwa kasus penganiayaan pelajar hingga tewas. Namun, Pengadilan Militer I-02 Medan memvonis Riza dengan hukuman kurungan penjara 10 bulan.
[–>
Tentu, Isnur mengatakan, vonis hukuman yang diberikan kepada Riza memicu amarah publik lantaran dianggap tak sesuai, bahkan hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dari vonis yang dilakukan dalam kasus tindak pidana ringan.
“Hukum tampak tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan,” ujar Isnur.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Al Araf mengatakan fenomena vonis ringan kepada prajurit yang terlibat dalam kasus tindak pidana menandakan, jika supremasi hukum dan agenda reformasi sektor keamanan sudah tak lagi berjalan lebih dari dua dekade usai reformasi.
Ia menilai, penyebab dari mandeknya agenda reformasi sektor keamanan dan reformasi hukum karena tak adanya keinginan dari pembentuk undang-undang untuk membuat regulasi hukum yang setara dan berkeadilan, yaitu dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Ketika pelakunya berasal dari institusi militer, proses hukum menjadi tertutup, perlakuan tidak setara terjadi, dan hukuman tidak proporsional dijatuhkan,” kata Al Araf.
Padahal, dia melanjutkan, dalam kerangka reformasi keamanan usai 1998, agenda pemisahan militer dari urusan sipil, hingga mekanisme pengawasan sipil terhadap militer sudah menjadi tuntutan yang amat penting.
Misalnya, dalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI, disebutkan eksplisit jika prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, bukan peradilan militer. Namun, ketentuan tersebut acapkali diabaikan dengan mandeknya proses pembahasan revisi UU Peradilan Militer.
“Kegagalan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan revisi ini menyebabkan sistem peradilan militer tetap menjadi ruang tertutup yang melanggengkan ketimpangan keadilan,” ujar Al Araf.
Dalam putusannya MA juga memerintahkan keduanya untuk membayarkan restitusi kepada keluarga korban. Bambang Apri diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga korban meninggal sebesar Rp 209 juta dan kepada korban luka sebesar Rp 146 juta.
Sementara Akbar Adli diwajibkan membayar restitusi kepada keluarga korban meninggal Rp 147 juta dan korban luka Rp 73 juta dalam kasus penembakan bos rentam mobil di rest area KM45, Tol Tangerang-Merak pada 2 Januari tersebut.
Adapun, kejelasan ihwal revisi UU Peradilan Militer sempat terjadi pada DPR periode 2004-2009. Saat itu, sembilan fraksi partai politik di DPR menyetujui penetapan revisi UU Peradilan Militer menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, hingga akhir periode, pembahasan itu tak rampung.
Pada 2013, usul pembahasan revisi UU Peradilan Militer kembali bergulir di DPR. Namun lagi-lagi, agenda pembahasan mandel tanpa alasan yang jelas. Satu dekade lebih berlanjut, DPR dan pemerintah juga belum memberikan sinyal ihwal pembahasan revisi UU Peradilan Militer.
DPR berpendapat, proses hukum kepada prajurit yang melakukan tindak pidana umum dapat diadili melalui mekanisme pidana koneksitas sebagaimana ketentuan Pasal 89 ayat (2) UU KUHAP.
Dengan pidana koneksitas, Wakil Ketua Komisi III DPR saat itu Habiburokhman mengklaim maka masing-masing instansi yang terlibat dalam proses hukum akan saling bersinergi, bukan melemahkan.
“Untuk menetapkan, apakah akan diadili di pengadilan militer atau pengadilan umum, sesuai Pasal 89 Ayat 2 KUHAP, diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut,” kata Habiburokhman pada Selasa, 20 Februari 2024.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan, pada prinsipnya DPR senantiasa mendorong agar setiap proses hukum, termasuk yang melibatkan prajurit TNI dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Namun, Dave tak menjawab lugas ihwal desakan koalisi masyarakat sipil terkait revisi UU Peradilan Militer. Ia hanya mengatakan, sebagai institusi strategis yang memiliki peran vital dalam menjaga kedaulatan negara, TNI diharapkan mampu menjadi suri tauladan.
“Termasuk dalam menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia,” kata politikus Partai Golkar itu.
Pilihan Editor: Koalisi Desak Revisi UU Peradilan Militer, Bagaimana Sikap DPR?
