AMNESTY International Indonesia menilai situasi hak asasi manusia (HAM) di bawah satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengalami kemunduran paling parah sejak reformasi. Organisasi HAM global itu menyebut arah kebijakan negara semakin otoriter, populis, dan minim partisipasi publik dalam setahun Prabowo-Gibran.
Pilihan editor: Siasat Gibran Merawat Suara demi Kepentingan Politik 2029
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
“Sejak dilantik 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi, baik bebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan tertulis pada Senin, 20 Oktober 2025.
[–>
Menurut Usman, pola kebijakan yang menyingkirkan dialog publik menjadi penyebab utama kemunduran HAM. Pemerintah, kata dia, lebih memilih pendekatan koersif dan militeristik dalam menghadapi kritik dan protes rakyat. “Dialog baru dilakukan jika protes meluas atau ketika korban sudah jatuh,” ujarnya.
Amnesty mencatat 5.538 orang menjadi korban kekerasan aparat dalam berbagai aksi protes selama setahun terakhir, mulai dari demonstrasi menolak revisi UU TNI pada Maret 2025, aksi buruh Mei 2025, hingga protes kenaikan tunjangan DPR pada Agustus 2025. Dari jumlah itu, 4.453 orang ditangkap, 744 mengalami kekerasan fisik, dan 341 terkena dampak penggunaan gas air mata serta water canon.
[–>
Selain itu, 12 aktivis masih ditahan sebagai tersangka penghasutan dan dua orang dinyatakan hilang pasca demonstrasi Agustus. Amnesty menilai pemerintah gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM dalam aksi tersebut, termasuk pembunuhan terhadap 10 orang warga. “Tim gabungan pencari fakta batal dibentuk, padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggung jawab,” kata Usman.
Ia juga menyoroti terbitnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri yang dianggap memperluas kewenangan penggunaan senjata api. “Alih-alih mengevaluasi kebijakan represif, negara justru melabeli pengunjuk rasa dengan istilah ‘anarkis’, ‘makar’, hingga ‘teroris’,” ujarnya.
Selama setahun terakhir, Amnesty mendata 268 kasus serangan terhadap pembela HAM, termasuk jurnalis dan pegiat adat. Bentuk serangan meliputi pelaporan ke polisi, kriminalisasi, pemukulan, hingga percobaan pembunuhan. Jurnalis dan pegiat adat menjadi korban terbanyak, masing-masing 112 dan 81 orang.
Usman mencontohkan teror bom molotov terhadap kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada Oktober 2024 yang melibatkan unsur militer, namun hingga kini tidak diusut tuntas. Di ranah digital, ada 14 kasus peretasan terhadap jurnalis dan lembaga media, serta 20 kasus kriminalisasi warga dengan UU ITE.
Amnesty juga mencatat 13 kasus diskriminasi berbasis agama dalam setahun terakhir, termasuk penyegelan rumah ibadah dan pembubaran kegiatan jemaat. Tiga di antaranya melibatkan korban anak-anak, seperti kasus perundungan bernuansa SARA di Riau, pembubaran retret siswa di Cidahu, dan intoleransi di sekolah di Padang.
Meski presiden menyatakan menolak hukuman mati, pengadilan Indonesia masih menjatuhkan 56 vonis mati baru sepanjang 2025. Amnesty menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip hak untuk hidup. “Tidak ada bukti hukuman mati memberi efek jera. Hukuman ini kejam dan harus dihapuskan,” kata Usman.
Erosi hak asasi juga terlihat di bidang sosial. Amnesty menilai program makan bergizi gratis (MBG), yang menjadi program unggulan pemerintah, justru berujung pada kasus keracunan massal di berbagai daerah. Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga 12 Oktober 2025 ada 11.566 anak sekolah menjadi korban keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG.
“Pemerintah gagal menjamin hak anak atas kesehatan dan perlindungan. Pendekatan militeristik dalam pelaksanaan program ini memperlihatkan pengabaian terhadap prinsip keselamatan anak,” ujar Usman. Ia mengkritik pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut statistik keracunan hanya 0,0007 persen. “Satu anak yang menderita pun tidak boleh diabaikan atas nama keberhasilan mayoritas.”
Selain MBG, Amnesty menyoroti proyek strategis nasional yang dinilai mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan, seperti proyek lumbung pangan di Merauke, tambang nikel di Halmahera Timur, dan proyek geotermal di Poco Leok. “Pembangunan kita semakin elitis dan eksploitatif, jauh dari prinsip keadilan sosial,” kata Usman.
Amnesty juga menyoroti menguatnya militerisasi ruang sipil pasca revisi UU TNI. Jumlah jabatan untuk perwira aktif di lembaga sipil meningkat dari 10 menjadi 16 posisi, dengan pembentukan 100 batalyon teritorial pembangunan, 20 brigade, dan rencana 37 Kodam pada 2029.
“Pemerintah mengaburkan batas antara pertahanan dan urusan sipil. Ini berisiko besar terhadap perlindungan HAM,” ujar Usman. Ia menambahkan, keterlibatan militer kini meluas ke sektor ekonomi dan sosial, termasuk proyek-proyek strategis nasional dan program MBG.
Di tingkat daerah, praktik seperti pengiriman siswa ke barak militer dan penerapan jam malam bagi pelajar menunjukkan logika militer merembes ke kehidupan sipil. Bahkan ada upaya menjadikan TNI sebagai penyidik tindak pidana umum dalam revisi KUHAP dan RUU Keamanan Siber. “Tren ini mengikis profesionalisme militer dan supremasi sipil,” katanya.
Amnesty menyimpulkan bahwa arah kebijakan pemerintah saat ini pro-elite dan mengabaikan partisipasi rakyat. Dari resentralisasi ekonomi hingga pemolisian terhadap kritik, negara dianggap memperkuat praktik otoriter dalam balutan populisme.
“Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko terperosok ke dalam otoritarianisme baru yang menindas hak-hak warga,” kata Usman. Ia menegaskan, negara semestinya menjamin partisipasi rakyat, bukan membungkamnya.
“Dari hak warga yang berdemonstrasi di kota hingga masyarakat adat di pedesaan yang mempertahankan hak ulayatnya, semuanya menunjukkan erosi yang sama: negara abai terhadap kemanusiaan.”