WACANA mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kian mencuat. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan tersebut saat peringatan Hari Lahir PKB pada 23 Juli 2025 lalu.
[–>
Pilihan editor: Seberapa Besar Gizi Makanan Olahan Pabrik dalam Menu MBG
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Ide ini semakin menggelinding ketika Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia melontarkannya di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam puncak hari jadi partai beringin pada 5 Desember 2025.
[–>
Adapun wacana perubahan mekanisme pemilihan dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung ini bergema menjelang penyusunan revisi atas Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Berbagai partai politik tampak merapat pada wacana itu.
Praktik politik uang dan mahalnya biaya kontestasi dijadikan alasan untuk mendorong pengembalian mekanisme pilkada lewat DPRD. Namun demikian, usulan pilkada tidak langsung ini menuai kritik publik. Beberapa di antaranya dari organisasi independen antikorupsi Indonesia Corruption Watch atau ICW dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia.
[–>
Pilkada Dipilih DPRD Tak Hilangkan Praktik Politik Uang
Staf Divisi Advokasi ICW, Seira Tamara, mengatakan dari aspek apa pun wacana pilkada tidak langsung tak beralasan dan justru mengandung logika yang mengkhawatirkan. “Pilkada dipilih DPRD tidak menghilangkan praktik politik uang dan justru meningkatkan ruang transaksi politik yang tidak dapat diawasi masyarakat,” kata Seira dalam keterangan tertulis pada Selasa, 30 Desember 2025.
Dia menjelaskan, jika pertimbangan pilkada langsung oleh rakyat dihapus karena besarnya anggaran yang mesti dikeluarkan, hal tersebut mesti dikaji lebih komprehensif dan mendalam.
Menurut ICW, biaya pilkada 2024 ditaksir mencapai Rp 37 triliun atau lebih kecil dari biaya penyelenggaraan pemilu 2024 yang mencapai Rp 71,3 triliun.
“Jika besarnya anggaran adalah tolok ukur, apakah pemilihan presiden dan legislatif yang diselenggarakan secara langsung harus juga diubah mekanismenya?” ujar Seira.
Seira menyoroti proyek makan bergizi gratis (MBG) tahun 2025 yang justru lebih banyak memakan anggaran dengan jumlah Rp 71 triliun. Padahal, proyek unggulan pemerintahan Prabowo Subianto ini sarat masalah dalam pelaksanaannya.
Besarnya proyek MBG tersebut, dia mengatakan, menunjukan jika persoalan anggaran bukanlah masalah yang sebetulnya. “Dengan logika yang sama, ada banyak program prioritas pemerintah dengan anggaran jumbo yang perlu dihentikan,” ujar Seira.
Pilkada Lewat DPRD Dinilai Hilangkan Legitimasi Publik
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan wacana mengembalikan pilkada lewat DPRD tidak sejalan dengan kondisi politik hari ini.
Ide pilkada tak langsung ini, menurut dia, muncul ketika partisipasi publik justru sedang ramai-ramainya di ruang digital. Ketika masyarakat aktif bersuara, mengkritik kebijakan, dan mengawasi kekuasaan lewat media sosial, mekanisme pilkada malah ingin dipersempit.
“Situasinya seperti stadion sedang penuh dan penonton ramai bersorak, tapi justru mikrofonnya dimatikan,” kata Arifki dalam keterangan tertulis kepada Tempo, 22 Desember 2025.
Menurut Arifki, pilkada lewat DPRD memang sah secara aturan, tetapi rawan kehilangan legitimasi di mata publik. Kepala daerah yang dipilih elit akan tetap diuji setiap hari oleh masyarakat yang merasa tidak ikut menentukan.
Alasan efisiensi anggaran dan stabilitas politik yang kerap digunakan untuk membenarkan pilkada tidak langsung dinilai keliru sasaran. “Masalahnya bukan rakyat terlalu ramai, tapi negara belum siap mengelola keramaian itu,” katanya.
Demokrasi, menurut dia, bukan soal membuat politik sunyi, melainkan mengatur suara publik agar tetap sehat. Ia menyayangkan elit politik yang justru sangat aktif menggunakan media sosial untuk membangun citra dan membaca arah dukungan. Publik dirangkul saat kampanye narasi, namun dikesampingkan saat keputusan diambil. “Rakyat diperlakukan seperti penonton polling, bukan pemilik suara,” lanjutnya.
Pilkada Tak Langsung untuk Memusatkan Kekuasaan di Presiden
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi, Lucius Karus, menduga faktor politik uang bukan jadi satu-satunya alasan Partai Golkar mendorong perubahan sistem pilkada.
“Politik uang sebagaimana yang digembor-gemborkan hanya untuk menarik dukungan saja,” kata dia ketika dihubungi pada Senin, 22 Desember 2025.
Padahal, menurut dia, sistem pilkada apa pun sebetulnya tidak memiliki korelasi langsung dengan fenomena politik uang tersebut. Lucius menilai, selalu ada celah membuat pelaksanaan pilkada menjadi lahan politik uang. “Kalau soal besar dan kecil itu urusan pasar saja,” kata dia.
Lucius berpendapat ada pertimbangan dan kepentingan lain yang diincar Golkar dengan mengusulkan pilkada tidak langsung. Dia mengatakan menguatnya wacana itu tak terlepas dari kecenderungan pemerintahan Prabowo untuk menciptakan sentralisasi kekuasaan.
“Saya lebih percaya ide pilkada dipilih DPRD ini didorong oleh nafsu untuk memusatkan kekuasaan ke presiden saja,” ujarnya.
Pilkada tidak langsung, kata dia, membuat kekuasaan lebih mudah mengontrol kepala daerah melalui partai politik. Sebab, dia menilai ada anggapan dari kekuasaan bahwa pelaksanaan pilkada langsung telah menghambat upaya sentralistik tersebut.
“Golkar sejak Orde Baru terbiasa dengan pemerintahan sentralistik merasa bahwa pilkada langsung saat ini tidak menguntungkan bagi mereka,” ujar Lucius.
Andi Adam Faturahman, Eka Yudha Saputra, dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Mualem Minta Pusat Pasok Daging Sapi Menjelang Ramadan
