NasDem, PKS ve PDIP, bölgesel seçimlerin DPRD’den geçeceğini söyledi


WACANA pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ataukembali menggelinding usai Partai Golkar menggelar rapat pimpinan nasional, Sabtu, 20 Desember 2025 lalu. Dalam forum tertinggi kedua di partai berlambang beringin, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan kepala daerah dipilih DPRD.

[–>

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Adapun Presiden Prabowo Subianto ketika menghadiri di Puncak Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, pada Jumat, 5 Desember 2025, mengatakan sistem pilkada lewat DPRD membuat ongkos politik lebih murah.

[–>

Prabowo menyebut sistem politik itu sudah diterapkan di berbagai negara. Ia lantas mengajak kekuatan politik untuk memberi solusi baru kepada rakyat. “Demokratis tapi jangan buang-buang uang. Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya, kenapa enggak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai,” kata Prabowo kala itu.

Sejumlah partai politik tampak merapat pada wacana pilkada tak langsung yang dilontarkan Partai Golkar. Beberapa partai itu di antaranya Gerindra, Partai Amanat Nasional, hingga NasDem. Selain itu, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga memiliki pandangannya sendiri mengenai usulan tersebut.

[–>

Gerindra Ikut Usulkan Pilkada Lewat DPRD

Partai Gerindra menjadi salah satu partai yang mengusulkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Prasetyo Hadi mengklaim kajian internal mereka sudah lama mengusulkan perubahan sistem pilkada itu.

“Kajian kami di internal Partai Gerindra, kami memang terus terang salah satu yang mengusulkan atau berpendapat bahwa kami berkehendak untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah itu melalui mekanisme di DPRD,” kata dia di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin, 29 Desember 2025.

Menteri Sekretaris Negara ini mengatakan perlu ada keberanian untuk melakukan perubahan sistem pemilihan kepala daerah. Dia menuding sistem pemilihan kepala daerah saat ini memiliki banyak sisi negatif. “Harus berani untuk melakukan perubahan dari sistem. Manakala kami mendapati bahwa sistem yang kami jalankan sekarang itu banyak juga sisi negatifnya,” kata dia.

Sisi negatif itu, kata dia, biaya besar yang dikeluarkan calon kepala daerah untuk mengikuti pemilihan umum. Biaya besar juga dirasakan oleh negara. “Belum dari sisi negara, ya, mengenai pembiayaannya,” kata dia. 

Prasetyo mengatakan Partai Gerindra juga sudah lama membahas ini dengan partai lain. Pembahasan juga pernah dibahas ketika masa pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo.

PAN: Usulan Pilkada Lewat DPRD Patut Dipertimbangkan

Partai Amanat Nasional atau PAN mengkaji usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Wakil Ketua Umum PAN Mohammad Eddy Dwiyanto Soeparno tak menampik bahwa pilkada tidak langsung bakal mengambil hak warga. Namun, ia menegaskan usulan itu patut dipertimbangkan.

Eddy menjelaskan, selama bertahun-tahun menjabat di kepengurusan PAN, ia melihat peningkatan intensitas politik uang hingga politik dinasti. ”Dan pada saat itu ada politik identitas yang sangat besar intensitasnya, ketika pilkada itu dilaksanakan secara langsung,“ kata Eddy di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin, 29 Desember 2025.

Eddy menilai sistem pilkada tidak langsung bisa menjadi solusi guna mengurangi pelbagai ekses politik tersebut. Kendati demikian, Eddy mengakui bahwa kembalinya sistem pilkada lewat DPRD menimbulkan pro maupun kontra di publik. Apalagi, selama ini masyarakat memiliki hak untuk memilih kepala daerahnya secara langsung.

“Memang saya akui bahwa jika masyarakat sudah diberikan hak untuk memilih langsung, dan kemudian haknya diambil, saya kira akan menimbulkan berbagai masukan yang menghendaki agar itu tetap melekat pada mereka,” ujar dia.

Reformasi, Eddy berkata, sejatinya mengamanatkan penguatan kualitas demokrasi. Menurut dia, demokrasi berarti memastikan proses pilkada melahirkan pemimpin yang berkualitas. “Kami harus melihat apakah sekarang diperlukan evaluasi terhadap sistem tersebut, yang mana saat ini tengah kami kaji, agar kualitas demokrasi kita, hasil dari pada pemilihan kepala daerah itu betul-betul meningkatkan kualitasnya dengan baik,” kata dia. 

NasDem: Pilkada Lewat DPRD Selaras Konstitusi dan Pancasila

Ketua Fraksi NasDem Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan bahwa sistem pilkada lewat DPRD selaras dengan konstitusi serta nilai-nilai Pancasila. Viktor berujar, Undang-Undang Dasar 1945 tidak menetapkan satu model tunggal dalam demokrasi elektoral di tingkat daerah.

“Konstitusi kita tidak mengunci demokrasi pada satu model. Pilkada melalui DPRD memiliki dasar konstitusional yang sah dan tetap berada dalam koridor demokrasi,” kata Viktor dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa, 30 Desember 2025.

Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur itu meyakini bahwa perubahan sistem pilkada menjadi tidak langsung bertujuan untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan sehat karena mampu beradaptasi dan memperbaiki diri. Ia membantah anggapan bahwa pilkada dilakukan DPRD dimaksudkan untuk mematikan demokrasi.

“Selama prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan kontrol publik dijaga, demokrasi tidak sedang dimatikan, tetapi justru diperkuat,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu.

Menurut Viktor, demokrasi di Indonesia sejak awal tidak hanya dirancang sebagai demokrasi elektoral, melainkan demokrasi dengan mengedepankan musyawarah dan perwakilan sebagai pondasi pengambilan keputusan politik. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa gagasan pemilihan kepala daerah melalui DPRD bisa menjadi sarana implementasi sila keempat Pancasila. “Mekanisme pilkada melalui DPRD dapat menjadi ruang untuk menghadirkan kepemimpinan daerah yang lahir dari proses permusyawaratan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab kolektif,” ucap Viktor.

Viktor lantas mengajak semua pihak untuk menyikapi wacana pilkada melalui DPRD secara dewasa, dengan menggunakan nalar yang jernih. Bagi dia, perbedaan pandangan dalam menentukan sistem pilkada adalah hal yang wajar, tapi tidak boleh mengganggu persatuan nasional.

Saat tuntutan terhadap integritas kepala daerah meningkat, kata dia, maka pembenahan sistem politik juga harus dilakukan secara bersamaan. Atas dasar itu, Viktor berargumen bahwa mahalnya ongkos politik sesungguhnya yang menjadi penyebab maraknya kepala daerah terjerat kasus korupsi.

PKS: Perlu Ada Recall Politik

Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera atau MPP PKS Mulyanto mengatakan partainya hanya mendorong mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD, Sementara pemilihan bupati dan wali kota dilakukan langsung oleh rakyat.

Ia memahami, jika wacana mengembalikan mekanisme pilkada dipilih DPRD merupakan isu sensitif yang turut memicu perdebatan.

Namun, kata dia, hal yang utama diperlukan saat ini adalah bagaimana Indonesia memiliki sistem pemilihan yang konstitusional, rasional, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

“Untuk mencegah biaya politik mahal dan praktik politik uang, kami mendorong pembiayaan kampanye yang lebih ketat, transparan, dan sebagian disubsidi negara,” kata Mulyanto melalui pesan WhatsApp, Selasa, 30 Desember 2025.

Adapun, dalam pertimbangannya, Mulyanto mengatakan, gubernur memiliki peran strategis sebagai wakil pemerintah pusat, sehingga legitimasi representatif melalui DPRD dapat meningkatkan koordinasi dan stabilitas pemerintahan.

Dia melanjutkan, pemilihan gubernur oleh DPRD menjadi opsi yang rasional dan lebih hemat pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, meski mekanisme ini tidak akomodatif terhadap aspirasi publik.

“Karenanya, pemilihan gubernur oleh DPRD wajib diselenggarakan secara terbuka dan transparan, termasuk dengan voting, serta tegas melarang adanya transaksi politik tertutup,” ujar Mulyanto.

Kemudian, untuk pemilihan bupati dan wali kota. Dia mengatakan, mengingat kepala daerah ini adalah yang paling dekat dengan pelayanan publik. Maka, pemilihan langsung oleh rakyat akan memberikan ruang kontrol yang lebih kuat dan menjaga akuntabilitas.

“Tetapi, model pemilihan ini juga harus didukung dengan instrumen recall politik bagi kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasaan, serta evaluasi kebijakan secara nasional setelah satu periode untuk menentukan efektivitasnya,” ucap dia.

PDIP: Ongkos Politik Tak Bisa Jadi Dalih Pilkada Lewat DPRD

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai bahwa mahalnya ongkos politik untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tak bisa membenarkan perubahan sistem pilkada langsung. Partai di luar Koalisi Indonesia Maju ini menolak gagasan bahwa pilkada melalui DPRD bisa menjadi jalan keluar dari masalah tersebut.

“Jika pemilihan kepala daerah dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah, itu tidak bisa jadi pembenaran,” kata Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Yevri Hanteru Sitorus saat dihubungi pada Selasa, 23 Desember 2025.

Anggota Komisi II DPR itu menuturkan, pemerintah bisa mengakali penghematan anggaran pilkada dengan berbagai cara. Misalnya pilkada digelar bersamaan dengan pemilihan legislatif atau pemilihan presiden agar meniadakan biaya pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Selain itu, lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu seperti Komisioner Pemilihan Umum atau Badan Pengawas Pemilu juga bisa diharuskan untuk menekan pemborosan kampanye serta politik uang.

Deddy berpandangan bahwa ongkos biaya pencalonan kepala daerah yang mahal justru mencerminkan buruknya sistem kaderisasi suatu partai politik.  Ia menegaskan bahwa mengembalikan sistem pilkada menjadi tidak langsung seperti era Orde Baru adalah sebuah kemunduran. Menurut Deddy, perkembangan demokrasi di Indonesia harusnya mendorong partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Bukan sebaliknya.

Dia mengingatkan, perubahan sistem pilkada pada masa reformasi didasarkan pada evaluasi bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD terlalu banyak dampak negatifnya.

Yaitu misalnya masifnya praktik politik uang, hingga intervensi hukum saat proses pemilihan berlangsung. Kemudian, kata Deddy, pilkada tak langsung juga mengakibatkan tidak adanya ikatan antara kepala daerah dan menipisnya akuntabilitas kepala daerah terhadap pemilih.

Atas dasar itu, Deddy mengusulkan bahwa usulan sistem pilkada tak langsung ini harus dikaji lebih dalam dengan melibatkan berbagai elemen nasional. Dia berharap pemerintah benar-benar memiliki niat lurus dalam memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah.

“Bukan sekadar menjalankan agenda oligarki politik yang tidak linier dengan keinginan rakyat secara umum,” ujar dia.

Hendrik Yaputra, Andi Adam Faturahman, dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

 



Kaynak bağlantısı