GAM Bayrağında Koalisyon: Baskıcı TNI’nin Sebebi Olamaz


KOALISI Masyarakat Sipil mengecam tindakan represif dan penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh personel TNI terhadap masyarakat di Aceh Utara. Pada Kamis, 25 Desember 2025, sejumlah warga menyampaikan pendapat di muka umum terkait dengan penanganan bencana Sumatera.

[–>

Koalisi menilai keterlibatan militer dalam pengamanan demonstrasi menyalahi Undang-Undang TNI hingga UUD 1945. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, salah satu perwakilan Koalisi, mengkritik pengerahan pasukan dari Korem 011/Lilawangsa untuk menghalau penyampaian pendapat di muka umum pada 25 Desember 2025 lalu.

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Menurut Julius, pengerahan TNI dalam penanganan aksi massa penyimpangan serius dari tugas dan fungsi militer. “Unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum adalah hak konstitusional warga negara dan dijamin oleh Konstitusi. Apalagi, unjuk rasa merupakan ekspresi sipil yang sah dalam ruang demokrasi,” kata Julius ketika diminta konfirmasi pada Sabtu, 27 Desember 2025.

[–>

Apabila dalam demonstrasi ada tindakan yang dianggap melanggar hukum atau terindikasi pidana, maka seharusnya hal itu menjadi kewenangan kepolisian. Ia menegaskan militer semestinya tidak turut campur dalam penanganan unjuk rasa atau demonstrasi.

Koalisi juga mengecam bahwa adanya pengibaran bendera bulan bintang khas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijadikan pembenaran atas penggunaan kekerasan. “TNI seharusnya tidak menggunakan dalih ‘bendera bulan sabit’ untuk terlibat dalam penanganan unjuk rasa,” kata Julius.

[–>

Menurut dia, persoalan bendera GAM itu semestinya diselesaikan dengan cara dialogis oleh Pemerintah Aceh atau kepolisian. “Tindakan represif TNI kepada masyarakat Aceh justru membuka trauma lama 32 tahun konflik bersenjata di Aceh,” tutur Julius.

Koalisi menilai TNI kurang memiliki sensitivitas dan kesadaran dalam menangani permasalahan sipil yang terjadi di masyarakat Aceh. Terutama di tengah kondisi pemulihan pascabencana sekaligus sejarah konflik bersenjata yang panjang.

Koalisi menegaskan bahwa masyarakat terdampak bencana membutuhkan pelayanan dari penyelenggara negara. “Tidak seharusnya direspons dengan tindakan represif dan militeristik, yang justru semakin memperlihatkan tidak profesionalnya militer, yang merespons urusan di luar pertahanan,” kata Julius.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta DPR dan pemerintah untuk memberi instruksi kepada Panglima TNI agar bertindak cepat dan tegas terhadap oknum TNI yang melanggar. Hal itu supaya tidak memunculkan trauma baru masyarakat Aceh. “Kami mendesak pemerintah seharusnya fokus pada penanganan bencana di Aceh yang masih mengalami banyak masalah dan memastikan hak-hak masyarakat Aceh yang terdampak bencana segera dipulihkan,” kata Julius.

Personel TNI diduga melakukan kekerasan terhadap warga yang konvoi membawa bendera GAM di Aceh Utara pada Kamis, 25 Desember 2025. Aksi kekerasan itu terekam video dan diunggah akun Instagram @acehspeakup dan @acehworldtimes. Dalam video tersebut tentara berpakaian loreng memukul demonstran dengan tangan, ujung senapan laras panjang, popor senjata laras panjang, dan tendangan kaki di samping truk konvoi.

Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna mengatakan pemukulan itu terjadi saat konvoi sampai di depan kantor Bupati Aceh Utara. “Lalu ada tindakan represif dari TNI,” kata Husna saat dihubungi pada Jumat, 26 Desember 2025.

Konvoi itu terdiri dari para pemuda yang menuangkan kekecewaan atas penanganan bencana oleh pemerintah pusat. Mereka membawa atribut bendera bulan bintang khas GAM. 

Pembubaran ini, kata Husna, bukan pertama kali. Pekan lalu juga sempat ada penyisiran terhadap truk pembawa bantuan yang menggunakan atribut GAM.  

“Yang kami sesali kekerasan. Ketika terjadi kekecewaan tentu bukan kekerasan yang diharapkan terjadi. Seharusnya diselesaikan secara humanis,” kata dia.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Kolonel Donny Pramono membantah narasi yang beredar di media sosial bahwa dalam kejadian itu, prajurit TNI memukul penyintas banjir bandang Aceh.

Donny menjelaskan peristiwa itu terjadi dalam kegiatan penertiban gabungan TNI–Polri pada 25 hingga 26 Desember 2025 di ruas jalan lintas Banda Aceh–Medan, wilayah perbatasan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen.

Menurut Donny, kegiatan penyisiran atau sweeping bertujuan mencegah konvoi massal yang membawa dan mengibarkan bendera bulan bintang, yakni bendera GAM. Ia mengklaim pengibaran bendera itu secara hukum dilarang karena berkaitan dengan simbol separatisme dan berpotensi mengganggu stabilitas keamanan.

“Gesekan yang terjadi merupakan kondisi spontan akibat provokasi di lapangan, bukan tindakan yang direncanakan atau ditujukan untuk menyakiti warga,” kata Donny ketika dihubungi pada Jumat, 26 Desember 2025.

Donny mengatakan, aparat mengawali tindakan penertiban “secara persuasif dan humanis”. Salah satunya melalui penghentian kendaraan dan pemeriksaan rutin. Namun, Donny mengklaim, situasi berubah ketika sebagian massa melakukan provokasi, mendorong, bahkan memukul aparat yang sedang bertugas. “Dalam insiden tersebut, Kapolres Lhokseumawe dan Dandim 0103/Aceh Utara juga turut menjadi korban dorongan dan pukulan massa,” ujar dia.

Donny lantas menyebut, setelah situasi berhasil dikendalikan, aparat dan warga menempuh langkah damai dan dialog. Mediasi dilakukan antara aparat dan koordinator rombongan, dan, menurut dia, telah disepakati bahwa kejadian tersebut merupakan kesalahpahaman.

“Kami mengajak masyarakat untuk melihat peristiwa ini secara utuh, tidak terpotong oleh potongan video dan tulisan narasi yang dapat menimbulkan salah persepsi,” kata Donny.

Ia berujar, TNI AD berkomitmen menjaga pendekatan humanis, mengedepankan dialog, serta memastikan stabilitas keamanan agar penanganan bencana dan pemulihan masyarakat Aceh dapat berjalan dengan baik.

Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini



Kaynak bağlantısı