Ombudsman’a göre sayısız sorun

Belakangan, program MBG menjadi sorotan karena meningkatnya jumlah keracunan makanan MBG. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat setidaknya ada 8.000 orang yang mengalami keracunan MBG. Merespons hal tersebut, Badan Gizi Nasional menghentikan sementara 56 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bermasalah.

Berikut rangkuman masalah MBG dalam rapor merah dari Ombudsman.

Pemalsuan Kualitas Beras Premium di Proyek MBG

Ombudsman menemukan adanya permasalahan dalam pengadaan bahan baku MBG. Ada dugaan pemalsuan kualitas beras premium di salah satu satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) atau dapur MBG di Bogor, Jawa Barat. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan dapur MBG itu menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen. Padahal dalam kontrak kerja sama tercantum bahwa beras yang mereka beli adalah beras premium.

“Sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” kata Yeka dalam konferensi pers Hasil Kajian Cepat Pencegahan Maladministrasi dalam Program MBG di kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, pada Selasa, 30 September 2025.

Yeka mengatakan salah satu tim Ombudsman menemukan penurunan kualitas beras di dapur MBG ketika mereka melakukan kajian. Informasi yang diperoleh, pengelola SPPG juga tidak menyadari adanya pemalsuan kualitas beras premium tersebut.

Yeka menyebut, penurunan kualitas beras premium di SPPG Bogor ini merupakan satu di antara banyaknya ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi di lapangan. Sejumlah dapur MBG lainnya juga kerap mengalami hal serupa, seperti menerima sayuran tidak segar, serta lauk-pauk yang tidak lengkap.

Menurut Yeka, ketidaksesuaian kualitas bahan baku dengan harga yang dikeluarkan tersebut bisa terjadi karena ada penyimpangan oleh pemasok dari kontrak yang semula sudah disepakati. Kecurangan itu berjalan tanpa rintangan karena tidak ada standar acceptance quality limit (AQL) yang tegas dari pengelola dapur.

Potensi Pelanggaran Maladministrasi

Di samping urusan kecurangan dalam rantai pasok bahan baku, Ombudsman juga menemukan empat potensi pelanggaran maladministrasi dalam pelaksanaan program MBG. Yaitu, penundaan penyelesaian masalah yang berlarut, diskriminasi dalam persaingan usaha MBG, lemahnya kompetensi dapur dalam menerapkan standar operasional dan prosedur (SOP), dan penyimpangan prosedur.

Yeka menegaskan, keempat bentuk maladministrasi ini bukan hanya menggambarkan kelemahan tata kelola, tapi menunjukan bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah. Ia pun berharap Badan Gizi Nasional (BGN) dan pemerintah segera berbenah dalam mengelola MBG. “Jadi, tidak hanya mengedepankan target-target kuantitas saja,” katanya.

Permainan Pengadaan Bahan Baku

Yeke menyinggung sajian semangka MBG yang diiris nyaris setipis kartu anjungan tunai mandiri atau ATM yang pernah viral di media sosial beberapa waktu lalu. Menurut dia, penyajian menu MBG yang di bawah standar pemorsian menggambarkan adanya banyak permainan dalam pengadaan bahan baku.

“Faktanya banyak beredar, misalnya menu untuk sepuluh ribu rupiah per porsi tapi buahnya (semangka) tipis banget, seperti tisu ‘wer-ewer’ gitu,” ujar dia.

Secara sistem, Yeka menilai anggaran program MBG relatif sulit dikorupsi. Alasannya, anggaran yang digunakan langsung ditransfer Kementerian Keuangan ke virtual account masing-masing SPPG. Meski begitu, kata Yeka, celah penyelewengan anggaran MBG justru terletak pada proses pengadaan bahan baku. 

Salah satu modus yang bisa digunakan ialah dengan memalsukan catatan harga pembelanjaan. Menurut Yeka, bukti pembelian seperti bon atau kuitansi tidak bisa menjamin kebenaran harga yang tercatat.

“Misalnya, harga telur di pasar Rp 30.000 per kilogram. Kalau SPPG belanja ke pasar, ya harusnya beli dengan harga segitu. Pertanyaan saya, siapa yang bisa menjamin bahwa dia benar-benar beli dengan harga Rp 30.000?” kata Yeka.

Menurut Yeka, anggaran Rp 10 ribu untuk satu porsi sebetulnya sudah cukup untuk menghidangkan makanan yang layak dan bergizi. Namun, anggaran itu akan sangat kurang jika dipangkas kembali meski hanya sedikit.

Yeka meyakini penyediaan makanan di bawah Rp 10 ribu dapat langsung terlihat dari jenis menu maupun pemorsian yang tidak sesuai standar.  “Apalagi kalau sudah semangka dipotong kecil-kecil begitu, ya itu jelas permainan bahan baku,” kata dia.

Lemahnya Pengawasan Pemerintah

Yeka melihat modus penyimpangan ini muncul karena lemahnya pengawasan oleh pemerintah. Karena itu, Ombudsman menyarankan pemerintah agar lebih serius membangun sistem pengawasan dan memastikan transparansi pengadaan bahan baku.

Menurut Yeka, pengawasan yang ketat dalam program prioritas Presiden Prabowo Subianto ini merupakan sebuah keniscayaan. “Cuma sayangnya, di program-program seperti ini, pemerintah masih kurang aware terhadap pentingnya infrastruktur pengawasan,” kata dia.

Berjalan Tanpa Payung Hukum

Yeka menilai MBG merupakan program pemerintah yang tidak memiliki cantolan undang-undang, peraturan presiden, maupun jenis payung hukum lainnya. “Tidak ada UU dan Perpresnya, berarti dia mekanisme regulasinya adalah program. Program yang tanpa ada undang-undangnya,” tutur Yeka.

Ketiadaan payung hukum ini dianggap bermasalah oleh Transparency International Indonesia (TII). Namun, Yeka memaklumi ketiadaaan landasan hukum ini. Menurut dia, pemerintah tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyusun peraturan dan mempersiapkan regulasi karena berkejaran dengan target.

Sehingga, kata dia, tidak dapat dipungkiri bahwa program ini memang program politik. “Program MBG ini suka atau tidak suka, kita harus melihatnya sebagai program politik,” ujar dia. 

Meski begitu, Ombudsman menyarankan agar sebaiknya pemerintah segera menerbitkan Perpres yang mengatur soal program prioritas pemerintahan ini. Menurut Yeka, risiko keracunan dan pelbagai masalah MBG lainnya sejatinya bisa dimitigasi jika peraturan tersebut sudah ada sejak awal. “Akan jauh risikonya itu dikurangi kalau regulasinya dibenahi. Nah, Perpresnya ada,” tutur dia. 

Sejak Januari hingga 22 September 2025, MBG telah menyasar 22,9 juta penerima dengan total dapur sebanyak 8.450. Selama sembilan bulan berjalan itu, Badan Gizi Nasional mencatat sebanyak 5.914 penerima manfaat mengalami keracunan. Namun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia menemukan angka keracunan yang lebih besar yakni lebih dari 8000 orang.

Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam tulisan ini



Kaynak bağlantısı