INFO TEMPO – Jakarta, kota yang tak pernah tidur. Malam di Jakarta punya karakteristik yang berbeda di setiap wilayah. Buku berjudul “Tak Tidur Berpendar Cahaya” merupakan buku tema tiga yang dibuat hasil kolaborasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Tempo Media Group.
[–>
Buku ini lahir dari gagasan Jakarta yang memiliki potensi pengembangan aktivitas ekonomi malam atau night-time economy sebagai strategi pembangunan kota untuk menjadi kota global. Di beberapa kota di dunia, ekonomi malam hari menghasilkan miliaran dolar per tahun bagi kota-kota dan menciptakan jutaan lapangan kerja.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Aktivitas ekonomi malam, yang menjadi ciri kota global seperti London di Inggris, New York di Amerika Serikat, dan Tokyo di Jepang sesuai dengan visi Jakarta untuk masuk jajaran 50 besar kota global dunia. Peneliti Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Nalendro Nusantoro mengatakan, buku “Tak Tidur Berpendar Cahaya” mengangkat tentang pemetaan titik-titik Jakarta di malam hari.
[–>
“Ekonomi malam dimulai setelah pukul 18.00 WIB,” kata Nalendro dalam Diskusi Peluncuran Buku Tematik Berbasis Riset Menyongsong 500 Tahun Jakarta di Hotel Millenium Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025. Pada satu masa, menurut dia, kawasan senayan populer sebagai tempat trek-trekan di malam hari. Ada pula kawasan Sabang yang berpendar di malam hari sebagai sentra kuliner Jakarta. Juga kawasan Blok M yang dengan hiburan malam dan kuliner.
Nalendro berpendapat buku ini sangat menarik karena menceritakan “titik benderang” Jakarta di malam hari sekaligus dapat menjadi panduan bagi mereka yang mencari tempat-tempat asyik saat matahari kembali ke peraduan. “Buku ini pasti bermanfaat. Kalau mau tahu wisata malam di daerah mana, baca buku ini,” katanya sembari mengajak siapa saja, terutama anak muda untuk membaca buku tersebut. “Ini buku wajib dipegang teman-teman.”
[–>
(Kanan) Peneliti Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Nalendro Nusantoro saat diskusi buku “Tak Tidur Berpendar Cahaya” dalam peluncuran “Buku Tematik Berbasis Riset, Menyongsong 500 Tahun Jakarta” di Hotel Millenium, Jakarta, pada Kamis, 18 Desember 2025. TEMPO/Lourentius EP
Buku “Tak Tidur Berpendar Cahaya” terbilang menarik karena risetnya berdasarkan teknologi dengan memetakan titik terang di jakarta pada malam hari. Data tersebut kemudian dianalisis oleh penulis dan menjadi acuan sebelum terjun ke lapangan. “Penulis turun langsung menerapkan pendekatan berbasis fakta,” kata Nalendro.
Mengawal fakta di lapangan, kata dia, menjadi penting supaya jangan sampai ada titik terang di malam hari, tetapi tiada aktivitas berarti. “Penelitian berbasis teknologi harus digunakan dan di-cross check di lapangan,” ujarnya. Contoh, area Setu Babakan bisa jadi tidak seterang Pantai Indah Kapuk (PIK) di malam hari. Namun demikian, aktivitas yang terjadi di Setu abakan pada malam hari terbilang berarti.
Dalam buku “Tak Tidur Berpendar Cahaya”, setiap titik dibagi berdasarkan wilayah administrasi di Jakarta. Perbedaan ini muncul karena spesialisasi fungsi dan konsentrasi aktivitas yang berbeda di setiap wilayah, seperti pusat bisnis, industri, perdagangan, dan jasa, serta adanya perbedaan tingkat perkembangan dan infrastruktur antarwilayah.
Yang jelas, konsep kota 24 jam bukan hanya tentang memperpanjang jam operasional, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem kota yang aman, produktif, dan inklusif, termasuk pada malam hari. Pengelolaan keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi, dan pemerataan akses bagi pelaku usaha kecil menjadi isu penting yang perlu diperhatikan.
Jakarta, dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa di siang hari dan tambahan jutaan pendatang dari sekitar Jabodetabek di malam hari, memiliki pasar yang nyaris tak terbatas. Pengembangan ekonomi malam mulai dari restoran, pusat hiburan, transportasi publik malam, hingga kegiatan urban dapat membuka peluang ekonomi dan lapangan kerja. Lebih dari itu, ekonomi malam bisa menjadi wadah bagi generasi muda berinovasi dan mengekspresikan kreativitas tanpa batas waktu.
Buku “Tak Tidur Berpendar Cahaya” ini merupakan satu dari delapan buku riset seri menyambut 500 tahun kota Jakarta yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta. Tema Jakarta kota yang tidak pernah tidur dipilih untuk menunjukkan aktivitas di kota metropolitan ini tidak pernah berhenti selama 24 jam, termasuk pada malam hari.
Penulisan buku ini berlangsung cukup panjang, dimulai dari penggalian ide dan bagaimana poin-poin tersebut dikristalkan dalam sejumlah policy brief yang ditulis oleh tim dari Bappeda DKI Jakarta. Selanjutnya, dibuat riset dan penelitian yang dilakukan oleh tim dari Tempo.
Titik-titik malam di Jakarta dipilih berdasarkan hasil analisis pencahayaan kota menggunakan ArcGIS, perangkat lunak sistem informasi geografis berbasis lokasi. Melalui peta intensitas cahaya malam, terlihat area-area yang paling terang sebagai indikator tingginya aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya setelah matahari terbenam.
Semakin terang suatu wilayah, semakin besar pula potensi interaksi manusia, pergerakan kendaraan, serta aktivitas perdagangan yang berlangsung hingga larut malam. Pendekatan berbasis data ini membantu menggambarkan bagaimana denyut kehidupan malam Jakarta tersebar secara spasial, sekaligus menunjukkan kota ini benar-benar berfungsi sebagai kota 24 jam yang terus hidup di bawah cahaya lampu.
Bahan tersebut kemudian dihidupkan dengan reportase dan wawancara yang dilakukan oleh para penulis buku ini. Tim penulis mendatangi titik-titik yang aktivitas ekonomi malamnya tinggi.
Setelah itu, tim peneliti dan penulis mendatangi lokasi untuk reportase dan mencari tahu entitas yang menghidupkan malam di sana. Tim juga mewawancarai pelaku ekonomi malam, seperti pengelola kafe dan pengunjung, maupun para pendukungnya seperti pengelola parkir, sopir angkutan umum, dan penjaga toilet.
Sambil mendatangi beberapa titik terang di masing-masing wilayah Jakarta, tim peneliti dan penulis mewawancarai para pejabat organisasi perangkat daerah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi malam seperti Dinas Kebudayaan; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Kepala UPT Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin; serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah DKI Jakarta untuk mengetahui data dan informasi aktivitas yang dirancang pemerintah daerah di kawasan terang.
Ramuan dari berbagai sumber dan penelitian itulah yang membuat buku ini memiliki fondasi kuat sekaligus enak dibaca. Hal ini dimungkinkan karena buku ini ditulis dengan gaya literary journalism atau jurnalisme sastrawi. (*)
