Dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai Dewan Perwakilan Rakyat kurang peka sehingga muncul tuntutan rakyat 17+8 dari masyarakat sipil. Namun, pria yang disapa Hensa ini menuturkan, respons DPR yang menghasilkan enam poin kebijakan, termasuk penghapusan tunjangan, merupakan langkah yang patut diapresiasi dari tiga sisi.
Hensa menilai tindakan cepat yang diambil oleh pimpinan DPR, seperti Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco, menunjukkan keseriusan dalam menanggapi aspirasi publik.
“Menurut saya, apa yang disampaikan oleh DPR terkait dengan tuntutan tersebut, meski baru enam, bukan saja bisa dilihat karena cepat dan mendengarkan aspirasi publik, tapi ini tentu saja akan memperbaiki citra DPR,” kata Hensa dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 8 September 2025.
Enam poin tuntutan yang disepakti DPR, antara lain, pertama, memberhentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR sejak 31 Agustus 2025. Kedua, DPR melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri terhitung sejak 1 September, kecuali untuk undangan kenegaraan. Poin ketiga, DPR akan memangkas besaran tunjangan dan fasilitas anggota setelah evaluasi biaya langganan.
Poin keempat, anggota DPR yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak akan menerima hak-hak keuangan. Lalu poin kelima, pimpinan DPR akan meminta Mahkamah Kehormatan DPR untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik masing-masing yang memeriksa kelima anggota nonaktif. Poin keenam, DPR berjanji memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.
Menurut Hensa, ada dua hal yang perlu diperbaiki oleh DPR ke depannya. Ia berpendapat bahwa kepekaan wakil rakyat seharusnya tidak perlu menunggu rakyat marah atau menyampaikan aspirasi dengan tensi tinggi. Sebaliknya, menurut Hensa lagi, aspirasi masyarakat harus selalu didengarkan sebagai prioritas utama.
Poin kedua yang perlu diperbaiki menurut Hensa adalah perihal kesederhanaan. Hensa melihat bahwa penggunaan kemeja putih oleh pimpinan DPR saat membahas enam poin tersebut adalah simbol kesederhanaan yang baik. “Kesederhanaan tersebut harus terus dimunculkan secara konsisten, tidak hanya pada saat-saat tertentu.”
Ihwal pemotongan tunjangan, Hensa menilai langkah tersebut sedikit memperbaiki citra DPR. Namun, ia menekankan bahwa perbaikan ini masih agak membaik karena masih adanya tingkat ketidakpercayaan yang tinggi antara masyarakat dan partai politik serta anggota dewan.
“Tapi kenapa saya katakan ‘agak’ membaik karena memang ada distrust yang luar biasa antara masyarakat ke partai politik dan masyarakat ke anggota Dewan,” ucap Hensa.
Menurut Hensa, pemotongan tunjangan hingga menghasilkan gaji akhir sebesar Rp 65 juta oleh DPR akan sangat diapresiasi oleh masyarakat jika diimbangi dengan kinerja yang lebih baik. Ia menjelaskan gaji tersebut akan terasa layak apabila DPR mampu menghasilkan undang-undang atau peraturan yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
“Menurut saya Rp 65 juta itu akan diapresiasi oleh masyarakat bila kerja-kerja DPR dalam menghasilkan undang-undang atau menghasilkan peraturan-peraturan lain itu sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat,” kata dia.
Setelah aksi massa 28–30 Agustus 2025, masyarakat sipil yang mengatasnamakan gerakan 17+8 menyampaikan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR RI, partai politik, kepolisian, TNI, hingga kementerian sektor ekonomi.
Berdasarkan pemantauan Tempo dari situs bijakmemantau.id, dari 17 tuntutan jangka pendek yang harus dipenuhi dalam tenggat 5 September 2025, baru sebagian kecil yang terlaksana.
Tuntutan terhadap DPR, tiga poin dianggap sudah direalisasikan. Tuntutan yang telah dipenuhi tersebut, yakni Pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR serta pembatalan fasilitas baru, termasuk pensiun; publikasi transparansi anggaran terkait gaji, tunjangan, rumah, dan fasilitas dewan; serta dorongan kepada Badan Kehormatan DPR untuk memeriksa anggota bermasalah, termasuk melalui penyelidikan KPK.
Dari partai politik, beberapa ketua umum disebut baru mulai menindaklanjuti desakan untuk menjatuhkan sanksi kepada kader bermasalah dan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil. TNI juga dilaporkan masih dalam tahap proses untuk menyatakan komitmen publik tidak masuk ruang sipil selama krisis demokrasi.
Di sisi ekonomi, pemerintah disebut sedang memproses upaya menjamin upah layak, mencegah PHK massal, melindungi buruh kontrak, serta membuka dialog dengan serikat buruh terkait isu outsourcing dan upah minimum.
Adapun poin tuntutan yang belum dijalankan, yakni Presiden belum menarik TNI dari pengamanan sipil maupun menghentikan kriminalisasi terhadap demonstran. Polisi juga belum memenuhi desakan untuk membebaskan seluruh demonstran yang ditahan, menghentikan kekerasan aparat, dan memproses hukum pelaku pelanggaran HAM di internal kepolisian.
TNI juga belum kembali penuh ke barak maupun menegakkan disiplin agar tidak mengambil alih fungsi Polri. Begitu pula dengan partai politik, yang belum mengumumkan komitmen jelas untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis.
Dinda Shabrina dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini