KOTA SINEMA — Pemerintah Provinsi Jakarta mulai mematangkan visi sebagai Kota Sinema melalui rangkaian Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang digelar selama 1–8 Desember 2025. Diskusi berlangsung di Hotel A-One, Jakarta Pusat, menghadirkan pelaku industri, akademisi, kritikus film, serta jajaran pemerintah daerah.
Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk., Arif Zulkifli, membuka rangkaian diskusi dengan sebuah kisah bahwa gagasan Kota Sinema sudah diinisiasi sejak awal 2025, ketika Tempo menyelenggarakan Festival Film Tempo.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Ide itu langsung disambut Wakil Gubernur Rano Karno—yang juga aktor dan sineas senior. “Waktu itu saya menyebut soal kota sinema, Bang Doel langsung menangkap,” kata Arif saat menyampaikan sambutan.
[–>
Rano, ujar dia, pernah membandingkan pengalamannya syuting Si Doel di Belanda yang jauh lebih murah dan lebih mudah dibanding proses di Jakarta yang masih ruwet, mulai perizinan sampai gangguan lapangan.
Kendati begitu, membangun Jakarta Kota Sinema bukan hanya soal mempermudah produksi film. “Intinya membuat gagasan yang menyatukan seluruh pemangku kepentingan agar tercipta ekosistem yang baik,” tutur Arif.
[–>
Tujuan tersebut menjadi landasan Tempo Data Science mengoordinasi sembilan topik Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang berlangsung bertahap hingga pekan depan. Targetnya, melahirkan policy brief awal sebagai dasar perumusan kebijakan Pemprov Jakarta.
Kepala Dinas Pariwisata Ekonomi dan Kreatif Andhika Permata, diwakilkan oleh Bidang Ekonomi Kreatif Puji Astuti, menjabarkan bahwa Pemprov sejatinya sudah memiliki visi resmi menuju Kota Sinema 2027. Langkah yang disiapkan antara lain melengkapi dokumen pendaftaran ke UNESCO Creative Cities Network (UCCN), membentuk Jakarta Film Commission, menyiapkan mekanisme insentif fiskal, serta mengoperasikan platform Filming in Jakarta. FGD menjadi cara pemerintah menghimpun data dan pendapat ahli untuk menjawab pertanyaan mendasar: apakah Jakarta layak menjadi kota sinema, apa saja modalnya, dan apa yang masih kurang.
Dalam sesi pembahasan, Agni Ariatama, Presiden Indonesian Cinematographers Society, memaparkan kekuatan ekosistem film Jakarta didukung oleh 141 rumah produksi atau 80 persen nasional. Ekosistem festival juga hidup melalui JIFFest, Madani Film Festival, Jakarta Film Week, Festival Film Indonesia, dan pemutaran komunitas.
“Kita itu sebenarnya sudah lengkap, apapun ada. Cuma tidak saling tersimpul,” kata Agni. Ia menilai kendala lain adalah ketiadaan perda perfilman dan dominasi bioskop di kawasan tertentu.
Guna mengatasinya, Agni memberi sejumlah rekomendasi, yakni pengesahan Perda Pemajuan Kebudayaan Jakarta yang di dalamnya memuat pasal perfilman dan Kota Sinema; penguatan literasi visual di sekolah; pelatihan seni-budaya di tiap wilayah bekerja sama dengan IKJ; optimalisasi ruang publik, OTT, dan diplomasi sinema; serta integrasi data komunitas melalui DKJ dan Diskominfotik.
Kritikus film dan pendiri Indonesian Film Society, Eric Sasono, melihat Jakarta secara de facto telah menjadi pusat industri film karena 80 persen rumah produksi berlokasi di ibu kota.
Namun, ia mengingatkan adanya ketimpangan nasional. “Kita mengalami bottleneck yang luar biasa di penayangan film. Saya dengar ada sekitar 400 film mengantre di Bioskop 21,” kata Eric. Artinya, pemerintah perlu menambah layar lebih banyak.
Menanggapi temuan itu, Staf Khusus Gubernur Bidang Pemuda dan Olahraga, Diky Budi Ramadhan, mengingatkan bahwa penambahan infrastruktur maupun pola putar, juga patut mengukur minat penonton. “Kita harus menjaga penonton, jangan sampai ketika layar ditambah, tapi penontonnya malah sepi,” ujarnya.
Pemprov, kata Diky, menerima laporan ada film-film yang sepi penonton karena tiket mahal. Bahkan harga tiket di bioskop Kartika Chandra yang relatif murah sekitar Rp. 25.000 belum berhasil menarik minat pengunjung. “Mungkin karena tidak biasa, orang kagok masuk situ. Nah, hal-hal seperti ini yang mesti dirumuskan,” kata dia.
Sedangkan pendiri Jakarta Cinema Club, Christian Putra, menilai sepinya penonton tidak selalu disebabkan harga tiket. “Mungkin memang filmnya enggak menarik,” katanya.
Karena itu, ia menyarankan adanya data komprehensif ruang putar alternatif di luar jaringan bioskop besar, termasuk venue yang aktif memutar film internasional dan komunitas. Dengan demikian, masyarakat dari berbagai kalangan tetap punya pilihan dan tujuan ke mana mereka bisa menonton sesuai kemampuan. Sistem ini berlaku di berbagai negara yang dunia perfilmannya sudah maju. “Jadi, kalau ingin menuju Jakarta Kota Sinema, kita jugaharus bicara sesuatu yang worldwide,” ujarnya.
Eric, Agni, maupun Christian bersepakat dengan dua rekomendasi. Pertama terkait status “Kota Sinema” dari UCCN, saat ini masih perlu penegasan apakah sebuah kota bisa mendapatkan dua identitas, mengingat Jakarta sudah menyandang gelar City of Literature.
Kedua, mereka menegaskan bahwa Jakarta tetap membutuhkan Jakarta Film Commission untuk mengatasi berbagai tantangan yang masih terjadi. “Contoh paling mudah, pelaku perfilman masih susah melakukan syuting karena banyak hal, mulai dari rumitnya izin sampai berbagai gangguan yang terjadi,” kata Agni. (*)
