AKTIVIS HAM Munir Said Thalib sempat mendapat pilihan untuk melanjutkan studi ke Universitas Harvard di Amerika Serikat dan Universitas Utrecht di Belanda. Munir akhirnya memilih yang terakhir.
Istri almarhum Munir, Suciwati, mengatakan Munir sempat mendapat tawaran untuk kuliah S2 di Universitas Harvard. Tawaran itu muncul sebelum serangan ke gedung kembar World Trade Center pada 2001.
Suciwati bercerita, saat itu Munir memang sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan studi atau tidak. Namun tawaran ke Harvard membuatnya tertarik. Akhirnya Munir belajar Bahasa Inggris untuk memperbaiki TOEFL-nya.
Namun serangan ke gedung kembar WTC pada 11 September 2001 membalikkan keadaan. Isu terorisme membuat Indonesia jadi sorotan pemerintah Amerika. Apalagi saat itu Amerika tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Anterorisme yang membuat intelijen bisa langsung menindak warga negara asing.
“Almarhum waktu itu termasuk yang di garis depan untuk menolak RUU itu,” kata Suci. “Kita juga ikut demo Kedutan Amerika terkait penangkapan banyak orang yang dituduh teroris dan dibunuh hanya karena dituding terlibat terorisme.”
Sampai akhirnya Munir mendapat tawaran Universitas Utrecht. Suciwati menuturkan Munir masih tertarik ke Harvard. Namun ia menyarankan suaminya agar mengambil Utrecht karena sekolah hukumnya bagus dan salah satu yang tertua di dunia. Apalagi Belanda masih memiliki hubungan sejarah dan banyak orang Indonesia tinggal di sana.
“Di tahun yang sama juga dia ditawari lagi di Harvard, tapi Cak udah enggak mau. Dia memilih Utrecht,” ujarnya.
Suciwati mengatakan Munir membuat proposal beasiswa tentang perdamaian di Aceh, bukan soal penghilangan paksa. Ia mengatakan saat itu Munir memang aktif mendorong perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan, kata Suciwati, Munir sempat menemui Panglima GAM Abdullah Syafi’i.
“Cak juga terus menerus mendorong perdamaian. Caranya yaitu meminta pemerintah untuk tidak terus-menerus mengirimkan pasukan ke Aceh,” ucapnya.
Suciwati mengatakan Munir sudah menulis beberapa tulisan tentang perdamaian Aceh sebelum berangkat ke Belanda.
Sahabat Munir, Usman Hamid, menceritakan momen-momen lucu ketika Munir mendapatkan beasiswa di Utrecht. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia ini bercerita, awalnya Munir tidak mendapatkan beasiswa karena kemampuan Bahasa Inggris-kurang.
Saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat, 24 Agustus 2025, sahabat Munir ini menuturkan, sebetulnya dia yang terlebih dulu mendapatkan beasiswa ke Utrecht. Namun Cak Munir, panggilan akrabnya, memohon agar dia dulu yang bersekolah ke Belanda karena Usman masih lebih muda.
Walhasil, Interchurch Organisation for Development Cooperation (ICCO) bersedia memberikan Munir beasiswa masternya ke Utrecht.
“Munir bilang: ‘Yah Man, jangan dulu lah aku dulu lah, kau masih muda, masih lama,” kata Usman mengingat koleganya sambil tersenyum.
Munir pun gencar mengikuti kursus Bahasa Inggris menjelang putusan pelanggaran HAM kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Usman mengatakan Munir sering bolos kelas Bahasa Inggris karena menghadiri berbagai konferensi pers terkait putusan tersebut.
Usman mengatakan Bahasa Inggris Munir masih patah-patah. Ia menceritakan momen lucu pada saat Munir berseloroh kalau di Belanda banyak orang Jawa sewaktu ia mengisi seminar di Brussels, Belgia, pada 2002. Munir menceritakan ke Usman bahwa banyak menemui diaspora Jawa di Belanda sehingga tak perlu khawatir kendala bahasa.
“Kalau ke Belanda, Man, ada orang-orang Jawa di sana, aku pernah di seminar, kata orang di sana, udahlah Mas Munir bahasa Inggrisnya patah-patah, pakai bahasa Suroboyoan aja,” kata Usman. “Dia ngomong di seminar pakai bahasa Suroboyoan, yang terjemahin itu ke Belanda dan ke Inggris. Itu juga cerita lucu.”
Meski dengan keterbatasan Bahasa Inggris, kata Usman, Cak Munir tetap bertekad melanjutkan beasiswa.
“ICCO itu, yang memberikan beasiswa dia, akhirnya memberikan beasiswa itu ke keluarga Munir karena Munir tidak jadi sekolah,“ ujar Usman.
Poengky Indarti, yang juga sahabat Munir, mengatakan ia sempat mengurus administrasi beasiswa dan berkas-berkas visa Munir. Poengky bercerita, Munir memintanya untuk mencarikan beasiswa ke Belanda. Ia mengatakan saat itu sebetulnya ada pilihan beasiswa ke Amerika Serikat. Namun ia lupa mengapa Munir akhirnya memilih ke Belanda.
Saat itu ada beberap penyedia beasiswa ke Belanda, seperti Nuffic dan ICCO. Nuffic mewajibkan pelamar beasiswa dengan TOEFL sehingga Munir memilih ICCO.
“Mereka (ICCO) mau ngasih duit. Terserah Munir mau sekolah di mana. Ternyata pilihannya Utrecht. Aku sendiri lupa kenapa pilih Utrecht,” kata Poengky kepada Tempo di Jakarta, 26 Agustus 2025.
Poengky bercerita, saat itu diminta tolong Munir karena visa pelajarnya belum selesai menjelang tenggat waktu pendaftaran. Bahkan, Munir sempat memberikan email dan kata kuncinya yang digunakan untuk beasiswa kepada Poengky.
“Karena profesornya memperbolehkan terlambat masuk asalkan jangan sampai tanggal sekian. Ternyata Kedutaan Belanda memberi tahu visanya sudah jadi. Berarti awal September dia bisa pergi,” ujar Poengky.
Nasib berkata lain. Munir tewas di langit Romania saat pesawat Garuda bernomor 974 membawanya dari Jakarta menuju Amsterdam pada 7 September 2004.