INFO NASIONAL – Tempo bersama dengan Pusat Riset dan Inovasi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta melakukan review 8 naskah buku tematik berbasis riset untuk Menyongsong 5 Abad Kota Jakarta, di AONE Hotel, Jakarta, pada Senin, 1 Desember 2025.
Ada 8 naskah buku riset tematik yang dibahas oleh para narasumber dan peserta yang hadir dari perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Jakarta, Bappeda, para peneliti dan penulis.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Adapun 8 buku tersebut yakni Jakarta The City of Festivals and Events, Kampung Kota di Jakarta & Urban Walkability, 500 Kuliner Jakarta, Jakarta adalah Cerita Indonesia, Jakarta Kota Sastra, Wajah Maritim Jakarta, Jakarta Kota yang Tak Pernah Tidur dan Adaptasi Perilaku Masyarakat dalam Transformasi Mobilitas di Jakarta.
[–>
Sejarawan Indonesia, JJ Rizal yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi buku Jakarta adalah Cerita Indonesia mengatakan bahwa buku ini menceritakan kilasan perkembangan Indonesia di Jakarta. Menurutnya, buku Jakarta adalah Cerita Indonesia akan lebih pas jika menjadi Mozaik Wajah Indonesia. “Karena buku ini tidak mungkin menampung semua wajah Indonesia. Yang terbaca disini adalah mozaiknya,” ujarnya.
Dalam review buku 500 Kuliner Jakarta, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta, Priyanto mengatakan bahwa buku ini menyajikan berbagai survei dan temuan yang memperlihatkan bagaimana publik memaknai kuliner Jakarta. Menurutnya, salah satu yang paling mencolok sekaligus inspiratif adalah data bahwa 29 persen responden yang secara langsung mengaitkan kuliner jakarta dengan hidangan Betawi.
[–>
Ia menilai, data tersebut menunjukkan bahwa Jakarta memiliki spektrum identitas dan budaya yang jauh lebih luas, sehingga tidak bisa terus-menerus dipersempit hanya pada narasi Betawi semata. “Ini fakta yang menurut saya bukan sekedar angka. Bukan mengesampingkan kuliner Betawi, tapi jangan mengecilkan kuliner Jakarta dengan Betawi. Karena kalau kita mengecilkan itu akan sulit jika ingin menjadi kota global,” ujarnya.
Pada review buku Kampung Kota di Jakarta & Urban Walkability, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Tata Kota, Nirwono Joga mengatakan bahwa buku ini perlu menjawab apa yang terjadi setelah 5 abad Kota Jakarta.
“Buku ini kan sebenarnya untuk bekal generasi kedepan. Kalau buku ini bisa menjadi semacam gambaran kedepan, buku itu akan menjadi pegangan supaya kita tidak terjebak pada buku yang menjadi buku sejarah,” jelasnya.
Pengamat pariwisata dari Universitas Gadjah Mada, Azril Azahari dalam review Jakarta The City of Festivals and Events mengatakan bahwa dalam pembuatan sebuah buku, teori dan konseptual harus ada didalamnya.
Ia mengatakan bahwa festival sebenarnya merupakan bagian paling kecil dari sebuah event, sehingga keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Karena itu, ia mengusulkan agar pembahasan mengenai event dan festival diperdalam, termasuk bagaimana keduanya dapat saling menguatkan.
Diskusi berlanjut dengan seru pada sesi kedua, ketika para peserta membahas empat buku lainnya yakni Jakarta Kota Sastra, Wajah Maritim Jakarta, Jakarta Kota yang Tak Pernah Tidur, serta Adaptasi Perilaku Masyarakat dalam Transformasi Mobilitas di Jakarta. Keempat topik ini membuka diskusi yang lebih luas tentang karakter Jakarta dari berbagai sudut pandang.
Dalam pembahasan buku Jakarta Kota Sastra, penulis asal Semarang, Martin Suryajaya mengapresiasi buku tersebut karena menjadi buku pertama yang secara komprehensif membahas ekosistem sastra di Jakarta. “Buku ini sangat lengkap dengan menguraikan sejarahnya, komunitasnya, membicarakan penulis bahwa karya sastra soal Jakarta pun ada,” ujarnya.
Meski begitu, ia tetap memberikan beberapa masukan untuk memperkaya buku tersebut mulai dari data yang lebih detail hingga polemik yang terjadi pada dunia sastra di Jakarta.
Ira Delliana, dalam pembahasan buku Wajah Maritim Jakarta mengatakan bahwa buku ini memiliki kekuatan naratif dan historis yang solid, keseimbangan antara sejarah dan isu kontemporer hingga kredibilitas yang baik dengan menyebutkan sumber-sumber terpercaya. Meski begitu, ia juga memberikan masukan agar alur ceritanya dapat disusun lebih runut.
Di buku selanjutnya, dengan judul Jakarta Kota yang Tak Pernah Tidur, Dosen Universitas Negeri Jakarta, Achmad Firas Khudi menyampaikan apresiasinya. Ia memuji Tempo yang telah menyusun buku tersebut dengan dukungan Bappeda DKI Jakarta, yang menurutnya merupakan capaian luar biasa dalam menghadirkan kajian kota yang komprehensif dan relevan.
Di sisi lain, ia pun memberikan masukan untuk lebih menambahkan sisi humanis pada isi buku. Sehingga, kata dia, buku ini bisa memberikan sisi emansipatoris dengan menyuarakan suara kelas menengah.
Adapun pada pembahasan buku terakhir yakni Adaptasi Perilaku Masyarakat dalam Transformasi Mobilitas di Jakarta, profesor dari Universitas Indonesia, Raphaella Dewantari Dwianto mengatakan bahwa ada beberapa catatan yang bisa memperkaya buku tersebut. “Pertama terkait data termasuk statistik, kemudian sumber data, koherensi analisis dan visualisasi,” katanya.
Nantinya usulan dan hasil diskusi dari para narasumber akan kembali diramu oleh tim peneliti Tempo untuk mematangkan setiap isi dalam masing-masing buku. (*)
