JAKARTA diguyur hujan deras saat mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil berunjuk rasa di luar Gedung DPR pada Selasa, 18 November 2025. Mereka menyuarakan penolakan atas disahkannya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP oleh DPR hari ini.
Massa yang berkumpul di depan Gerbang Pancasila DPR ini mengingatkan para wakil rakyat bahwa pengesahan RUU KUHAP dapat mengancam reformasi hukum dan masa depan demokrasi.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Sementara di dalam Gedung DPR, Puan Maharani yang memimpin sidang paripurna telah mengetuk palu tanda disahkannya RUU KUHAP. Sebelum itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan penyusunan regulasi dilakukan secara “maksimal” dan memenuhi prinsip partisipasi bermakna.
[–>
Ia menyebut sejak Februari 2025, naskah akademik diunggah di website DPR, daftar inventaris masalah dibahas terbuka, dan sedikitnya 130 pihak mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum dengan mereka. “Dalam penyusunan ini, kami semaksimal mungkin berikhtiar memenuhi meaningful participation,” kata politikus Partai Gerindra itu saat membacakan laporan Komisi III DPR pada sidang paripurna, Selasa.
Klaim Habiburokhman itu yang menjadi titik silang paling besar antara DPR dengan masyarakat sipil.
Mengapa Koalisi Menilai Proses Pembahasan RUU KUHAP Bermasalah?
Koalisi sipil menuding DPR gagal memenuhi standar meaningful participation sebagaimana amanat UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan putusan MK.
[–>
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menyebut DPR tak pernah memberi tanggapan resmi atas masukan masyarakat, meskipun surat permintaan klarifikasi telah dikirim pada 2 Oktober 2025.
Bahkan Koalisi menemukan dugaan pencatutan nama organisasi dalam daftar pihak yang dianggap memberikan masukan pada 12–13 November 2025. “Ada manipulasi partisipasi bermakna,” ujar Arif.
Habiburokhman sebelumnya telah membantah tudingan pencatutan ini. Ia membantah pernyataan koalisi masyarakat sipil bahwa mereka memanipulasi prinsip partisipasi bermakna dalam pembahasan RUU KUHAP. “Enggak ada catut mencatut, kami justru berupaya mengakomodasi masukan masyarakat sipil,” kata Habiburokhman kepada Tempo, Senin, 17 November 2025.
Di sisi lain, aktivis Perempuan Mahardika, Avifah, menegaskan sejak awal penyusunan hingga pengesahan, suara perempuan hampir tak dilibatkan. Padahal konsideran RUU menjanjikan perlindungan pada kelompok rentan. “Tetapi, faktanya tidak ada partisipasi suara perempuan dalam proses penyusunan RUU KUHAP,” kata Avifah di Gerbang Pancasila DPR, Selasa.
Mereka menilai pasal-pasal yang mengatur posisi dan perlindungan korban—khususnya perempuan—tidak kuat dan tidak progresif, sehingga berpotensi mengulang praktik diskriminatif dalam sistem peradilan pidana.
Isi RUU KUHAP yang Dinilai Bermasalah
Berdasarkan catatan koalisi sipil, ada sejumlah Pasal bermasalah dalam RUU KUHAP, antara lain: Pasal 5, 7, 8, 16, 74, 90, 93, 105, 112A, 124, 132A, dan 137. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iqbal Muharam Nurfahmi, mengatakan pengesahan ini merupakan bentuk pembangkangan pembentuk UU terhadap agenda reformasi Polri. Sebab, dalam RUU ini Polri memiliki kewenangan yang amat luas. “Pengesahan RUU KUHAP adalah bentuk kemunduran reformasi hukum di Indonesia,” kata Iqbal di Gerbang Pancasila DPR pada Selasa, 18 November 2025.
Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 16 ayat (1) yang mengatur soa tata cara penyelidikan dapat dilakukan dengan:
- pembuntutan
- penyamaran
- pembelian terselubung (undercover buy)
- penyerahan di bawah pengawasan
- pelacakan
- pendatanganan dan pengundangan seseorang untuk keterangan
Masalah besar muncul karena teknik seperti pembelian terselubung kini dapat dilakukan dalam perkara pidana umum, bukan hanya kasus narkotika seperti sebelumnya.
Menurut peneliti ICJR, Iqbal Muharam Nurfahmi, perluasan kewenangan ini tanpa kontrol hakim membuka peluang praktik penjebakan (entrapment) serta rekayasa perkara. “Ini kemunduran reformasi hukum,” ujarnya.
Masalahnya, dalam RUU KUHAP operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan dalam upaya penyelidikan yang sebelumnya menjadi kewenangan tahap penyidikan dapat dilakukan pada operasi tindak pidana umum, tak lagi khusus seperti perkara narkotika.
Kewenangan ini, Iqbal melanjutkan, menjadikan metode penyelidikan tak memiliki batasan dan dapat dilakukan tanpa adanya pengawasan dari hakim. “Ini berpotensi membuka peluang penjebakan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya, yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana,” ujar dia.
Terpisah, Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herdiansyah Hamzah, mengatakan proses pembahasan RUU KUHAP yang dikebut dan mengandung substansi pasal bermasalah dalam pengesahannya berpotensi mengancam hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kebebasan akademik di Tanah air.
“Pengesahan RUU KUHAP tidak hanya mengancam masyarakat sipil. Tetapi, juga mengancam kegiatan intelektual dan penelitian kritis,” kata Herdiansyah dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 18 November 2025.
Menurut dia, proses legislasi yang dilakukan secara terburu-buru menunjukkan bahwa praktik legislasi yang dilakukan amat buruk dan terang-terangan mengkhianati prinsip partisipasi bermakna sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi.
Dia mengatakan, dalil DPR dan pemerintah yang mengebut pembahasan RUU KUHAP untuk menyesuaikan dengan pemberlakuan KUHP baru adalah tidak berdasar dan tidak dapat dijadikan legitimasi untuk mengabaikan masukan substantif dari masyarakat sipil, baik melalui RDPU maupun tertulis.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Muhammad Fitrah Aryo mengatakan, proses penyusunan RUU KUHAP jauh lebih berbahaya dari apa yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam proses penyusunan UU sebelumnya.
Dia mencontohkan, jika dalam penyusunan UU TNI pembentuk UU melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, justri di RUU KUHAP proses tersebut dilakukan dengan menjunjung kebohongan. khususnya dalam memenuhi partisipasi bermakna.
“Dugaan manipulasi dalam partisipasi bermakna ini menjadi celah bagi kami untuk mengkaji lebih dalam rencana gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi,” kata Aryo di gerbang depan DPR pada Selasa, 18 November 2025.
Pilihan Editor: Mengapa DPR Ngotot Mengesahkan RUU KUHAP
