MEJA perundingan di suatu bangunan di Helsinki, Finlandia mempertemukan pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Peristiwa ini terjadi dua dekade silam. Dialog panjang nan alot berakhir pada kesepakatan damai, mengakhiri konflik bersenjata di wilayah paling utara Indonesia itu.
Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani nota kesepahaman damai pada 15 Agustus 2005 silam, setelah lima babak duduk di satu meja perundingan. Momen ini akhirnya dikenal sebagai Perjanjian Helsinki.
Pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mengutus lima orang. Dua di antaranya dari menteri kabinet. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin ditunjuk sebagai ketua tim negosiator. Ia ditemani dengan Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil.
Dua menteri itu didampingi tiga personel negosiator lainnya. Mereka adalah Deputi Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Farid Husain, Direktur Keamanan dan HAM Departemen Luar Negeri Gusti Agung Wesaka Pudja, serta Deputi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Usman Basyah.
Kelima delegasi pemerintah itu berhadapan langsung dengan kelompok GAM di meja perundingan. Mereka di antaranya ialah Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah, Juru Bicara GAM di Swedia Bachtiar Abdullah, anggota GAM Malaysia Nur Djuli, serta anggota GAM Australia Nurdin Abdurrahman.
Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari memediasi perundingan yang berlangsung dari Januari hingga Agustus 2005 itu. Perjanjian Helsinki tak sekadar menyepakati pengakhiran konflik bersenjata di Aceh.
Terdapat sejumlah poin kesepakatan di dalam perjanjian Helsinki itu. Di antaranya yakni penarikan pasukan non-organik TNI dan Polri, perlucutan senjata milik GAM, pemberian amnesti, reintegrasi mantan kombatan, pembentukan partai politik lokal, hingga otonomi khusus bagi Aceh. Nota kesepahaman ini juga menjadi dasar lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sofyan Djalil masih ingat betul momen sebelum tim negosiasi perdamaian Aceh diutus pemerintah terbang ke Helsinki, Finlandia. Dia dan empat orang lainnya mendapat arahan dari Jusuf Kalla agar bisa menemukan kata sepakat di meja perundingan dengan petinggi-petinggi GAM.
Setidaknya ada tiga arahan yang diberikan wakil presiden ke-10 dan ke-12 itu. Pertama, soal pemberian buku tentang Aceh yang harus dibaca tim negosiasi.
Arahan lainnya soal cara merespons permintaan GAM di meja perundingan. Terlebih lagi di pertemuan pertama pada Januari 20 tahun silam. “Jusuf Kalla mewanti-wanti kami, hari pertama itu akan sangat emosional dan tidak bersahabat,” ujar Sofyan ditemui Tempo di kantornya di kawasan Jakarta Pusat pada Senin, 11 Agustus 2025.
Namun, arahan yang dinilai paling esensial ialah perihal apa-apa saja permintaan GAM yang boleh disetujui oleh pemerintah Indonesia. Pesan Jusuf Kalla saat itu jelas, apa pun bisa diterima, selain permintaan untuk merdeka.
Jusuf Kalla menilai referendum untuk Aceh tidak sesuai dengan undang-undang dasar. Hal ini yang mendasari mengapa pemerintah Indonesia sedikitpun tidak pernah menyetujui permintaan merdeka dari GAM, sekalipun di meja perundingan.
“Referendum itu kami tidak setuju. Yang lainnya seperti ekonomi, politik, pemerintahan boleh diurus. Pokoknya selain merdeka,” kata JK, sapaan akrabnya, dihubungi Tempo pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Jusuf Kalla, meski berada jauh dari Helsinki, menaruh telinganya dengan baik di meja perundingan yang mempertemukan delegasi Indonesia dengan GAM itu. Dia memantau dari telepon, berkomunikasi dengan tim negosiasi yang diutusnya. “Kalau ada masalah-masalah yang urgensi, saya kasih arahan lewat telepon langsung,” ucapnya.
JK mengakui perundingan itu berjalan alot. Hal ini juga diamini oleh Hamid Awaluddin. Ketua tim negosiasi utusan pemerintah ini bercerita bagaimana situasi meja perundingan saat itu.
Dalam pertemuan pertama, Hamid mengatakan sempat ada perdebatan perihal penggunaan bahasa dalam negosiasi tersebut. Perdebatan ini membuat pembahasan subtansi di pertemuan perdana itu tak banyak dibahas.
Sempat muncul saran agar bahasa yang digunakan kedua delegasi di meja perundingan itu menggunakan bahasa Inggris. Namun tidak disepakati oleh delegasi pemerintah Indonesia dan GAM. Hamid kemudian mengusulkan agar bahasa yang dipakai ialah Melayu, Malaysia.
“Ternyata usulan saya disetujui, padahal bahasa Melayu mirip-mirip dengan bahasa Indonesia,” kata Hamid berseloroh saat berbagi pengalamannya di forum peringatan dua dekade perjanjian Helsinki yang diselenggarakan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia atau ERIA di kawasan Jakarta Pusat pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Negosiasi yang panjang dan alot membuat Martti Ahtisaari harus tegas. Tak boleh berat sebelah ke salah satu kelompok.
Sofyan menilai mantan presiden Finlandia itu menjalankan tugasnya sebagai mediator dengan baik. Bila situasi negosiasi mulai tidak kondusif, ujar Sofyan, Ahtisaari mengetuk-ngetuk pensilnya ke meja.
“Gentleman, di sini untuk mencari penyelesaian. Kalau kalian mau berantem, keluar. Don’t waste my time,” kata Sofyan menirukan perkataan Ahtisaari saat itu.
Meski rambu-rambu negosiasi sudah jelas ditentukan sedari awal, bahwa tidak boleh ada permintaan merdeka, perundingan tidak pernah benar-benar berjalan mulus. Sofyan bercerita permintaan GAM untuk mendapatkan hak mendirikan partai politik lokal sempat membuat perundingan mentok.
Pemerintah mulanya tidak sepakat dengan permintaan pendirian partai politik lokal itu. Alasannya karena berbenturan dengan konstitusi. Situasi deadlock ini memutuskan tim negosiasi delegasi pemerintah harus membawa usulan ini ke Istana Kepresidenan di Jakarta.
Pemerintah menyatakan hak pendirian partai politik lokal di Aceh harus mendapat persetujuan di Parlemen. Jika DPR menyetujui, maka pemerintah dapat mengakomodir permintaan GAM soal partai politik lokal itu. Poin ini akhirnya disetujui dan masuk dalam isi perjanjian Helsinki.
Malik Mahmud mengatakan pertimbangan kelompoknya saat itu meminta hak mendirikan partai politik lokal karena kondisi sumber daya. “Kami tidak ada uang, tidak ada tenaga ahli untuk membuka kantor partai politik di seluruh Indonesia saat itu,” kata Mahmud ditemui usai menghadiri acara Peringatan 20 Tahun Perjanjian Damai Aceh yang diselenggarakan oleh ERIA, di kawasan Jakarta Pusat pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Alasan lainnya, konflik berkepanjangan antara GAM dan Indonesia membuat kelompoknya dicap masyarakat luas sebagai separatis. Menurut dia, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak senang dengan keberadaan GAM.
Situasi tersebut dinilai tidak memungkinkan bila kelompoknya membentuk partai politik nasional. “Apalagi ditawarkan berboncengan dengan partai lain, kan, enggak bisa juga. Orang Aceh tidak bisa terima, karena kebanyakan partai nasional itu anti kepada GAM,” ucap eks GAM yang kini menjadi Wali Nanggroe ini.
Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.