JARINGAN Gusdurian mengecam keras tindakan Pemerintah Kabupaten Garut yang menutup paksa sebuah rumah doa umat Kristen di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, sejak 2 Agustus 2025.
Pemerintah Kabupaten Garut menyegel rumah doa tersebut dengan alasan tidak memiliki izin resmi. Pemerintah setempat juga mensyaratkan proses perizinan sebelum rumah doa dapat digunakan kembali.
Selain penyegelan, pemerintah daerah juga disebut menekan pihak pengelola agar menghentikan seluruh kegiatan ibadah di lokasi tersebut.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, menilai tindakan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.
“Peristiwa ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya. Bahkan, dalam kasus Garut, negara justru menjadi pelaku utama diskriminasi,” kata Alissa dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 14 Agustus 2025.
Putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini mengingatkan bahwa kasus ini bukanlah peristiwa tunggal. Pada akhir Juli 2025, sebuah rumah doa di Padang, Sumatera Barat, juga dirusak.
“Kedua insiden ini menjadi bukti bahwa kemerdekaan untuk menjalankan ibadah masih belum dirasakan semua warga negara, bahkan ketika Indonesia bersiap merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-80,” ujarnya.
Alissa menilai kejadian di Garut sangat ironis karena negara seharusnya berperan sebagai pengayom, bukan pelaku diskriminasi.
“Pemerintah Kabupaten Garut harus segera mencabut penyegelan rumah doa itu dan menjalankan konstitusi secara amanah dengan memberi dukungan terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan,” kata Alissa.
Alissa pun menyerukan kepada para pemangku kebijakan untuk mengevaluasi berbagai peraturan yang berpotensi mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, baik di level lokal maupun nasional, agar peristiwa serupa tidak terulang.
“Para pemuka agama dan masyarakat perlu menyediakan ruang dialog kepada pihak-pihak yang berbeda demi menciptakan kerukunan dan keharmonisan antarwarga yang multikultural,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam menjaga keberagaman dan memandang perbedaan sebagai fitrah yang harus dinormalisasi, bukan dihapuskan.
“Seluruh jaringan GUSDURian akan terus melakukan pendidikan keberagaman sebagaimana dilakukan oleh Gus Dur semasa hidupnya,” kata dia.
Penyegelah rumah doa umat Kristen di kecamatan Caringin telah berlangsung lebih dari satu pekan yang dilakukan oleh pemerintah setempat sejak 2 Agustus 2025.
“Pelarangan ibadah ini sebagai bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia),” ujar Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, kepada Tempo pada Senin, 11 Agustus 2025.
Selain melakukan penyegelan, pemerintah daerah pun mengusir rohaniwan rumah doa, Dani Natanael, beserta anaknya yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Yahya mengatakan mereka dilarang berada di wilayah Kecamatan Caringin. Saat ini Dani beserta anaknya mengungsi ke wilayah Kabupaten Bandung.
Kegaduhan itu berawal saat petugas Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat, hendak melakukan pendataan dengan didampingi petugas kantor urusan agama (KUA) setempat. Pendataan ini merupakan bentuk pembinaan karena Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) rumah doa akan berakhir pada Februari 2026.
Namun, sebelum petugas Kemenag Provinsi mendatangi lokasi, KUA bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan Caringin terlebih dahulu mendatangi rumah doa. Mereka membawa Dani dan Anaknya ke salah satu hotel di Pantai Rancabuaya. “Pada Jumat, jam sebelas malam Dani dibawa ke hotel katanya untuk menghindari adanya penyerangan,” ujar Yahya.
Esok harinya, kata Yahya, Dani beserta anaknya dibawa ke kantor Desa Purbayani. Mereka diinterogasi dan dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka secara sukarela meninggalkan rumah doa. Dalam pernyataan itu, Dani juga dilarang mengikuti kegiatan rumah doa dan tidak melakukan kegiatan keagamaan di wilayah Kecamatan Caringin.
Dalam pertemuan itu juga dibuatkan berita acara kesepakatan, di antaranya bahwa rumah doa Imanuel ditutup secara permanen. Poin lainnya yakni dilarang adanya peribadatan atau pembinaan iman umat Kristen dan kegiatan peribadatan lainnya seperti pembagian bantuan sosial sembako.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut Nurrodhin mengatakan bahwa penutupan rumah doa itu dilakukan karena soal perizinan. Penghentian aktivitas kegiatan pun dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan. “Penutupan itu hasil kesepakatan. Kalau mengikuti aturan tidak akan ada persoalan. Inshaallah kami fasilitasi,” ujar Nurrodhin.
Selain melakukan penutupan, pemerintah daerah juga mendata warga di sekitar rumah doa. Mereka diduga diisukan telah berpindah agama dari Islam ke kristen. Alasannya karena warga pernah mendapatkan bantuan berupa sembako. Warga itu pun kini mendapatkan pembinaan dan pemantauan dari kantor urusan agama setempat. “Setelah kami cek tidak ada warga yang pindah agama,” ujar Nurrodhin.
Humas Kementerian Agama, Kabupaten Garut Soni menyatakan akan mendorong mediasi sebagai langkah penyelesaian. Ia berharap semua pihak agar menahan diri dan tidak memberikan narasi-narasi yang dapat memicu kegaduhan.
“Sesuai dengan fungsi dan perannya, Kemenag pun melalui penyuluh agama dan ASN lainnya menghimbau agar berperan aktif memberikan edukasi dan pembinaan terhadap masyarakat terkait moderasi dan kerukunan umat beragama,” ujar Soni melalui keterangan resminya.
Pilihan Editor: Membayar Utang, Menjaga Warisan
Sigit Zulmunir berkontribusi dalam penulisan artikel ini