MAHASISWA Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS) Program Studi Manajemen Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta, Damar Setyaji Pamungkas, diberi sanksi skorsing atau diberhentikan sementara sampai semester 2025/2026 berakhir. Sanksi dari kampus Universitas 17 Agustus 1945 itu diberikan karena Damar hendak menggelar diskusi tentang penolakan Soeharto sebagai pahlawan nasional di kampusnya.
Damar merupakan Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Jakarta Raya. Ia menggelar diskusi bertajuk “Soeharto Bukan Pahlawan: Tantang Fadli Zon, 1000 Dosa Politik Soeharto” di UTA45, Jakarta, pada Senin, 10 November 2025.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Dekan FEBIS Bobby Reza pada 10 November 2025, Damar dituduh tidak menuruti arahan kepala program studi dan fakultas untuk tidak melakukan agenda apapun di luar kegiatan akademik. Damar juga dianggap memobilisasi massa untuk melakukan kegiatan politik praktis di kampus. Sehingga Damar dianggap melanggar tata tertib yang tercantum dalam buku panduan Akademik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
[–>
“Dekan FEBIS memberikan sanksi berupa skorsing sampai semester 2025/2026 berakhir,” demkian tertulis dalam surat Dekan FEBIS nomor 693/FEBIS.UTA45/SS/XI/2025 yang ditandatangani oleh Bobby Reza, pada 10 November 2025.
Dengan keputusan ini, Damar tidak boleh mengikuti kegiatan kuliah, organisasi kemahasiswaan, dan kegiatan yang menggunakan nama Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
[–>
Agenda diskusi di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta itu bersamaan dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Di samping Soeharto, sembilan nama lainnya juga diberi gelar serupa, di antaranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dan Marsinah –aktivis buruh yang dibunuh di masa Orde Baru.
Ketua Umum LMID Tegar Afwiansyah mangatakan Damar disanksi karena menyelenggarakan diskusi mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Diskusi itu dilakukan sebagai bentuk refleksi sejarah atas pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.
“Sosok yang dalam catatan sejarah bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, dan pembungkaman politik,” kata dia lewat keterangan tertulis, pada Kamis, 14 November 2025.
Tegar bercerita, awalnya Damar dipanggil oleh Dekan FEBIS sebelum diskusi itu berlangsung. Pemanggilan itu dilakukan tanpa surat resmi dan atas dorongan langsung dari pihak rektorat Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Dalam pertemuan itu, Dekan FEBIS menyatakan bahwa diskusi bertema ‘Soeharto Bukan Pahlawan’ tidak dibolehkan digelar di kampus.
“Alasannya dianggap politik praktis dan bukan kegiatan akademik,” kata Tegar.
Menurut Tegar, Damar membantah tuduhan itu. Damar, kata Tegar, menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari kebebasan akademik yang dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Bagi Damar membahas sejarah politik Soeharto adalah bentuk tanggung jawab moral dan intelektual mahasiswa, bukan tindakan politik praktis,” ujarTegar.
Ia melanjutkan, pihak Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta juga menggagalkan diskusi itu dengan mengarahkan petugas keamanan kampus. Mereka menggembok area kantin yang menjadi lokasi diskusi. Petugas keamanan juga memasang spanduk ancaman bertuliskan ‘Dilarang Melaksanakan Kegiatan Politik Praktis di Kampus UTA’45 Jakarta. Bagi yang Terlibat Akan Dikenakan Sanksi Skorsing/DO’.
Masih di hari yang sama, kata Tegar, Damar kembali dipanggil oleh pihak kampus untuk diklarifikasi yang kedua kalinya. Pada pertemuan kedua tersebut, pihak FEBIS menyampaikan keputusan sanksi skorsing kepada Damar. Surat skorsing itu diterbitkan tanpa melalui mekanisme dan prosedur yang jelas sebagaimana diatur dalam Panduan Akademik Universitas 17 Agustus 1945 dan tidak mengikuti tahapan yang seharusnya.
Tegar mengatakan, Damar berinisiatif mengirim surat audiensi kepada Rektor untuk meminta klarifikasi, pada 12 November 2025. Tapi, pihak rektorat tak menanggapinya. Sedangkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 sedang berada di luar negeri.
Tegar menilai tindakan rektorat Universitas 17 Agustus 1945 merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa dan pelanggaran terhadap kebebasan akademik. Kampus seharusnya menjadi ruang produksi ilmu pengetahuan. “Namun kini berubah menjadi alat kekuasaan yang takut terhadap sejarah,” ujar Tegar.
Ia juga menilai tindakan tersebut menunjukkan bahwa kampus sedang mengalami kemunduran demokrasi. Kebebasan berpikir dan berekspresi justru dikekang oleh otoritas pendidikan.
“Bila kampus menutup ruang diskusi dan melarang mahasiswa berpikir kritis, maka kita sedang menyaksikan kembalinya semangat Orde Baru dalam wajah baru,” katanya.
LMID meminta Rektorat maupun Dekan FEBIS Universitas 17 Agustus 1945 mencabut surat skorsing terhadap Damar. Mereka juga meminta kampus memulihkan hak akademik dan kebebasan berekspresi mahasiswa, serta menghentikan praktik intimidasi terhadap kegiatan intelektual mahasiswa.
“Rektor UTA’45 Jakarta harus bertanggung jawab dan meminta maaf secara terbuka. Kemendikti wajib menindak tegas pelanggaran kebebasan akademik ini,” kata Tegar.
Dekan FEBIS Bobby mengakui kampus memberikan sanksi skorsing kepada Damar. Ia mengklaim pemberian skorsing itu sudah sesuai dengan prosedur. “Kami sudah rapatkan dengan pimpinan. Ada kesepakatan adanya pelanggaran,” kata Bobby saat dihubungi, pada Ahad, 16 November 2025.
Bobby menegaskan kampus tidak melarang mimbar akademik mahasiswa di kampus. Namun, kata dia, kegiatan di luar akademik yang sifatnya politik atau sosial harus mendapatkan izin dari kampus terlebih dahulu.
“Izin lebih dahulu. Izin disampaikan 3 hari sebelum acara diadakan. Nanti ada kajian,” ujar Bobby.
Menurut Bobby, kegiatan diskusi soal gelar pahlawan Soeharto itu dilakukan tanpa izin. Pihak kampus baru mengetahui diskusi tersebut di hari pelaksanaan kegiatan. Diskusi itu juga diduga bermuatan politik praktis.
“Di aturan kami bahkan aturan kementerian pendidikan tinggi ada aturan bahwa kampus tidak berpolitik praktis,” kata dia.
Pilihan Editor: Peluang Membatalkan Gelar Pahlawan Soeharto
