KOTA SINEMA – “Film Indonesia sekarang sedang memasuki masa bulan madu,” ucap kritikus film Singapura, Philip Cheah suatu siang di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Oktober 2025. Ia datang untuk menonton film di ajang Madani International Film Festival.
Philip takjub melihat fenomena yang sedang terjadi di perfilman Indonesia. “Film Indonesia sudah menguasai pasar, mengalahkan film impor,” ucapnya dengan nada antusias. Pernyataan Philip tidak salah, karena memang seperti pernyataan yang ditulis di akun IG @cinepoint.id pada 11 November 2025: “Film Indonesia kini memimpin pasar, menguasai 65 persen total box office pada tahun 2024!”
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Sungguh menarik, kondisi ini menandai tercapainya cita-cita lama para pejabat, bahwa film Indonesia benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak lagi gentar bersaing dengan film impor dalam meraup jumlah penonton.
[–>
“Sejak pandemi, grafiknya selalu naik. Fenomena ini sebenarnya hanya meneruskan tren sebelum pandemi. Kita sebetulnya golden age itu kan sejak 2016,” ungkap Sigit Prabowo, founder akun Bicara Box Office (BiBO) saat ditemui di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, 23 Oktober silam.
Dua pekan setelah bertemu, tepatnya pada 9 November, Sigit kembali menulis di akun Twitter @bicaraboxoffice, bahwa dari total 102,90 juta pada tahun Kalender 2025, angka penonton film lokal mencapai 65,50 (64 persen). Sedangkan Penonton Film Impor 36,40 juta (36 persen).
[–>
Namun dia memperingatkan agar tetap waspada. “Hati-hati menjaga momentum, menjaga market trust, kepercayaan masyarakat terhadap film Indonesia. Itu adalah artinya tentu konten yang disajikan, kualitasnya makin naik.”
Fakta ini dibenarkan oleh Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Toto Sugriwo. Dia optimistis melihat kenaikan angka penonton lokal yang signifikan namun ada sedikit masalah. “Nah begitu pasca-pandemi, angka penonton film Indonesia trennya naik, tetapi kemarin itu di Oktober kayaknya mulai menurun lagi.”
Ditemui di gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Kuningan, Toto melihat terlalu banyak film horor menjadi pokok masalahnya. “Mudah-mudahan sih ini November ini ada beberapa film yang genrenya lebih variatif lah. Tidak hanya horor, karena penonton bosan.”
Dia menyebutkan contoh perubahan yang hadir di bioskop misalnya genre drama dan religi. “Ada filmnya Acha Septriasa, Air Mata Mualaf atau Tak Kenal Maka Taaruf. Sama filmnya Iko Uwais, Timur,” papar Toto.
Harapannya hingga akhir tahun ini bisa mengejar angka tahun lalu yang mencapai 80 juta penonton. Toto optimis Jakarta bisa menjadi pelopornya. “Kalau kita lihat Jakarta ini kan menjadi tolok ukur untuk film. Karena bioskop hampir 60% ada di Jakarta ini,” tuturnya.
Berdasarkan data dari GPBSI ada total ada 49 gedung bioskop di seputar DKI Jakarta. Perincian masing-masing, 42 bioskop dari grup XXI, 12 bioskop CGV, 11 bioskop Cinepolis, 3 bioskop FLIX, dan satu outlet Indiskop di Pasar Teluk Gong, Jakarta Utara.
Di tengah kemajuan teknologi, muncul bioskop daring (online), dikenal dengan Over The Top (OTT) yang bisa ditonton di televisi, gawai, pun laptop. Muncul kekhawatiran, tren ini akan membuat penonton mager alias malas bergerak. Alhasil, bioskop pun menjadi sepi, tak ada lagi pengunjungnya. Benarkah begitu?
“Oh itu kekhawatiran yang sudah lama berlalu sebetulnya,” tukas Sigit. Menurutnya justru pengunjung bioskop di sini sudah mampu hidup berdampingan secara damai dengan OTT.
Ia menilai, Indonesia bisa disebut merupakan contoh yang bagus ketimbang negara lain. “Bahkan (penonton film Indonesia) mungkin lebih baik daripada film Hollywood,” ujarnya. “Di Indonesia saya kira sudah tersegmentasi dengan baik. Apalagi kita tahu bahwa di platform streaming, konten yang biasanya lebih long lasting dan cultural impact-nya sih biasanya series, ya.”
Ia mencontohkan bagaimana platform over-the-top (OTT) seperti Netflix memiliki karakter pasar yang berbeda. Menurutnya, konten yang paling kuat justru datang dari serial, bukan film panjang. Produk-produk Netflix Original yang paling diingat penonton umumnya adalah serial seperti Squid Game atau Stranger Things, sementara film orisinalnya cenderung cepat dilupakan.
Faktor lain yang menjadi kelebihan bioskop adalah budaya nonton yang kuat. “Itu sudah terbentuk sejak lama. Nonton di libur lebaran, Natal, atau Tahun Baru. Di kampung saya dulu orang-orang kalau lebaran itu naik truk, nonton film-film Warkop atau Rhoma Irama di kota-kota dekat,” tuturnya dengan bersemangat.
Adapun salah satu yang menyebabkan orang malas ke bioskop adalah soal jeda waktu (window time), masa jeda antara tanggal tayang di bioskop dengan tayang di OTT yang terlalu berdekatan.
Saat ini, lanjut Toto ketentuan masa jeda tayang atau window time selama 120 hari atau empat bulan. Ketentuan ini dirasa terlalu cepat. “Tentu saja ini membuat penonton berpikir, ah sebentar lagi filmnya bisa ditonton di OTT. Jadi, ada usulan dari sejumlah produser agar window time ini dinaikkan menjadi 180 hari,” kata dia. (*)
