SITI Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menyambut baik langkah pemerintah yang kembali mengusulkan nama sang ayah sebagai pahlawan nasional. Titiek menyebut keluarga Cendana bersyukur bila pemerintah berkenan memberikan gelar tersebut kepada Soeharto.
“Alhamdulillah kami sekeluarga bersyukur kalau pemerintah berkenan,” kata Titiek kepada wartawan saat ditemui seusai meninjau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polres Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat, 7 November 2025.
Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın
Titiek juga mengapresiasi masyarakat yang mendukung usulan tersebut. Ia berterima kasih atas dukungan masyarakat. “Dengan dukungan masyarakat seluruhnya yang berkenan memberikan gelar pahlawan nasional untuk almarhum Pak Harto, kami tentu berterima kasih,” ujarnya.
[–>
Sebelum menghadiri kegiatan di Karanganyar, Titiek sempat berziarah ke makam sang ayah di Astana Giribangun, Matesih. Dalam kesempatan itu, ia mengaku mendengar hampir seluruh fraksi di parlemen telah menyetujui usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. “Semua fraksi sudah setuju, mungkin hanya satu yang belum,” tuturnya singkat.
Namun, Titiek enggan menanggapi lebih jauh soal fraksi yang disebut menolak. Ia memilih menutup percakapan dan meninggalkan lokasi dengan mobil dinasnya.
[–>
Di sisi lain, gelombang penolakan dari masyarakat sipil terhadap masuknya nama Soeharto dalam daftar pahlawan makin masif menjelang pengumuman. Sejumlah aksi demonstrasi telah beberapa kali dilakukan kelompok masyarakat sipil. Mereka menyatakan penolakan jika Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional.
Sebelumnya, para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas menggeruduk kantor Kementerian Kebudayaan di Jakarta pada Kamis, 6 November 2025. Mereka menilai pemberian gelar kepada Soeharto akan mencederai status kepahlawanan di Indonesia.
Perwakilan Gemas, Axel Primayoga, menyebutkan Soeharto berperan dalam pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, kolusi, serta nepotisme. Dia mengatakan rekam jejak itu membuat Soeharto tak cocok mendapat gelar pahlawan nasional.
Adapun gelar pahlawan nasional diberikan kepada seseorang yang telah berjuang melawan penjajahan di Indonesia, yang gugur atau meninggal demi membela bangsa dan negara. Gelar tersebut juga diberikan kepada tokoh yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Axel turut menyinggung rekam jejak kepemimpinan Soeharto sebagai presiden yang represif. Menurut dia, rezim Orde Baru selama kekuasaan Soeharto telah menindas rakyat dan membungkam suara kritik masyarakat.
Berbagai pelanggaran berat HAM juga terjadi pada era kepemimpinan Soeharto. “Dari 1965 hingga Mei 1998 dan residu-residunya, ribuan nyawa melayang tanpa keadilan,” ucap Axel.
Dia turut menyinggung amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XI/MPR/1998 yang menegaskan Soeharto harus dimintai pertanggungjawaban atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. TAP tersebut dicabut oleh MPR pada tahun lalu, tapi Axel menilai pencabutannya bermasalah.
Dia mengatakan upaya menghapus nama Soeharto dari TAP MPR tidak berdasar. Menurut dia, hal itu dilakukan untuk memanipulasi hukum sehingga Soeharto bisa menyandang gelar pahlawan nasional.
Penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto juga menggema dalam Aksi Kamisan. Puluhan orang dari Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi damai di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 6 November 2025. Mereka menuntut pemerintah agar tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden pada era Orde Baru itu.
Tak hanya masyarakat sipil, penolakan atas usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto juga disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno. Dia merupakan Imam Katolik sekaligus pengajar ilmu filsafat.
Romo Magnis mengatakan keterlibatan Soeharto dalam dugaan korupsi pada era Orde Baru membuatnya tak layak menjadi pahlawan nasional. “Soeharto melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, orang lain, orang dekatnya, memperkaya diri sendiri. Itu bukan pahlawan nasional,” kata Romo Magnis dalam diskusi Menolak Gelar Pahlawan Soeharto di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa, 4 November 2025.
Selain itu, dia mengatakan Soeharto bertanggung jawab dalam peristiwa genosida 1965-1966 yang memakan korban hingga jutaan jiwa. Dia berujar, pahlawan nasional idealnya tidak melakukan pelanggaran etika, apalagi kejahatan.
Namun, di tengah penolakan itu, sejumlah pihak justru menyatakan dukungan atas pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Salah satunya Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh.
Dia menyatakan semua mantan presiden layak mendapat gelar pahlawan nasional tanpa terkecuali. Menurut dia, semua tokoh yang pernah memimpin Indonesia adalah pahlawan, termasuk Soeharto. “Pak Karno (Sukarno), Pak Harto, Pak Habibie, dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah para pemimpin bangsa yang layak menjadi pahlawan”, ujar Niam dalam keterangannya pada Rabu, 5 November 2025.
Dia menilai pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan sikap kenegarawanan dengan memasukkan nama Soeharto dalam daftar usulan pahlawan nasional. Dia menilai Prabowo ingin merangkul dan membangun keharmonisan antarbangsa.
Niam lantas mengajak masyarakat Indonesia tidak mengungkit jejak kelam dan masa lalu Soeharto. Menurut dia, tidak ada orang di dunia ini yang sempurna.
“Sehebat apa pun orang, jika dicari kesalahan dan kelemahannya pasti ada. Namun Islam memerintahkan untuk mengingat kebaikannya dan memendam serta memaafkan kesalahannya,” ucap guru besar UIN Jakarta ini.
Merespons pro dan kontra itu, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Fadli Zon mengatakan Soeharto memenuhi syarat untuk menyandang gelar pahlawan nasional. Keputusan Soeharto telah memenuhi syarat, kata dia, bukan hanya dari pihaknya, melainkan juga dari kabupaten/kota atau provinsi.
Usul itu disebutkan dikaji kembali oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat atau TP2GP yang terdiri atas sejarawan, akademikus, tokoh agama, dan aktivis. “Jadi memenuhi syarat dari bawah. Dari beberapa layer itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah, dan itu datangnya dari masyarakat juga,” ucap Menteri Kebudayaan itu pada Rabu, 5 November 2025.
Pilihan Editor: Mengapa Soeharto Tak Layak Jadi Pahlawan Nasional
Hendrik Yaputra, Sultan Abdurrahman, dan Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
