Rano’nun Aksiyonu Cakarta’yı Sinema Şehri Haline Getiriyor


KOTA SINEMA – Wakil Gubernur Rano Karno menegaskan komitmennya menjadikan Jakarta sebagai kota sinema dengan memperkuat dukungan terhadap industri film dan ekonomi kreatif. Ia menekankan pentingnya memaksimalkan potensi perfilman sebagai salah satu sektor strategis dalam memperkuat citra Jakarta di tingkat global.

Rano menyebut transformasi Jakarta dari ibu kota negara menjadi daerah khusus membuka peluang memperkuat sektor kebudayaan dan industri kreatif. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024, yang menegaskan kedudukan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.

Okumaya devam etmek için aşağı kaydırın

Film merupakan elemen strategis yang berperan penting dalam memperkuat posisi sebuah kota di Global City Index,” kata Rano dalam diskusi bertema “Jakarta Kota Sinema” di ajang IdeaFest, Sabtu, 1 November 2025.

[–>

Kali pertama ia mendengar gagasan “Jakarta Kota Sinema” dalam sebuah gala dinner pada awal Februari 2025. Rano merasa ide itu menantang sekaligus menjadi tanggung jawabnya untuk diwujudkan seturut terpilih menjadi wakil gubernur.

Saya tanya waktu itu, apa maksudnya Jakarta Kota Sinema? Tidak ada yang tahu,” katanya.

[–>

Sejak saat itu, ia mulai menelusuri dan akhirnya menemukan bahwa Jakarta selama ini memang berpihak pada perfilman, kendati belum sepenuhnya sadar akan potensinya.

Menurutnya, kebijakan yang mendukung industri film sudah dimulai sejak era Gubernur Fauzi Bowo dengan cara mengembalikan 75 persen pajak tontonan film kepada produser. Saat Joko Widodo memimpin, nilainya berubah jadi 50 persen. “Sekarang kami kuatkan di zaman Pramono Anung dan Rano Karno, pajak ekonomi kreatif kita kembalikan 50 persen. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas,” ujarnya.

Upaya selanjutnya, ia mengumpulkan para sineas dalam sebuah makan malam di awal Mei untuk menyaring ide, hingga tercetuslah pembentukan Jakarta Film Commission. Komisi ini diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang menghambat perkembangan ekosistem perfilman.

Langkah ini penting mengingat film terbukti tahan krisis dan memberi kontribusi signifikan pada ekonomi kreatif. Berdasarkan data yang ia peroleh, jumlah penonton film nasional mencapai 122 juta orang pada 2024, dan 65 persen di antaranya menonton film lokal. “Jadi sesungguhnya film Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Rano.

Data lainnya, 80 persen dari 141 rumah produksi yang aktif di Indonesia, berbasis di Jakarta. Meski begitu, infrastruktur penayangan masih timpang. Indonesia baru memiliki 491 gedung bioskop dengan 2.361 layar yang tersebar di 115 dari 514 kabupaten/kota. “Kalau 400 kabupaten/kota saja membangun satu gedung bioskop, saya yakin film Indonesia akan jauh lebih hebat,” ujarnya. Sebagai perbandingan, China memiliki 9.520 gedung bioskop dengan jumlah layar sebanyak 86.310. Sementara Amerika Serikat memiliki 5.600 bioskop dengan 40.700 layar.

Rano juga menyoroti minimnya dukungan lembaga keuangan terhadap produksi film nasional. “Seumur hidup saya jadi orang film, tidak ada satu pun film Indonesia yang diproduksi menggunakan uang dari bank. Karena kami dianggap tidak punya jaminan. Sementara di luar negeri, dia enggak perlu jaminan, tapi ide,” ucap aktor dan produser yang menggeluti dunia film lebih dari 50 tahun.

Sebab itulah, Jakarta Film Commission atau JFC sangat dibutuhkan. Komisi ini akan mempercepat perizinan, menyediakan informasi lokasi syuting, dan mempromosikan Jakarta sebagai destinasi produksi film dunia.

Langkah lain adalah menyiapkan Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat seni dan budaya. “TIM akan kita jadikan sentral sinema di Jakarta,” kata Rano. Revitalisasi kawasan itu ditargetkan rampung dalam dua tahun ke depan.

Jakarta juga mulai memperluas jejaring perfilman ke dunia internasional. Tahun ini, Pemprov DKJ membuka stan sendiri di Festival Film Cannes untuk memperkenalkan Jakarta sebagai destinasi produksi film. “Kami jual lokasi syuting Jakarta. Nekat, yang penting kita ada dulu di situ,” ujarnya. Selain itu, Jakarta juga menjalin kerja sama dengan Motion Picture Association (MPA) dan memperkuat relasi dengan kota film dunia seperti Busan dan Tokyo.

Rano menilai, fondasi terpenting dalam membangun kota sinema bukan hanya infrastruktur, melainkan manusia. Pemprov DKJ telah mengalokasikan lebih dari Rp11 triliun untuk subsidi pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi 700 ribu pelajar dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) bagi 16.500 mahasiswa. Program pemutihan ijazah bagi 8.000 pelajar miskin juga dijalankan untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal. Menurutnya, SDM adalah fondasi kota global. Tidak ada industri kreatif tanpa pendidikan.

Dalam enam bulan kepemimpinannya, Rano menyebut posisi Jakarta dalam Kearney Global City Index naik dari peringkat 74 menjadi 71, sebagian karena meningkatnya pengakuan terhadap sektor budaya, musik, dan film. “Inilah yang mempercepat tingkat popularitas Jakarta di mata dunia,” kata Rano. Ia optimistis Jakarta bisa menembus 50 besar kota global dalam lima tahun kepemimpinannya.

Sebagai seniman sekaligus pemimpin daerah, Rano menutup paparannya dengan refleksi pribadi. Ia mengingatkan bagaimana serial Si Doel Anak Sekolahan dulu dianggap tidak menjual, tapi justru mencatat rating tertinggi dunia televisi. “Si Doel itu pernah mencapai rating 54. Tertinggi di dunia, mengalahkan American Football,” ujarnya.

Kini, Rano membawa semangat itu ke tingkat kota. Dengan arah kebijakan yang semakin jelas, pembentukan Jakarta Film Commission, dan dukungan terhadap SDM kreatif, ia optimistis Jakarta bisa menjadi pusat perfilman Asia dalam waktu dekat. Jakarta sudah punya sejarah, infrastruktur, dan talenta. Tinggal kemauan untuk menjadikannya nyata. (*)



Kaynak bağlantısı